TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Pendidikan Arief Rachman mengatakan, SMA Taruna Nusantara kecolongan dalam kasus pembunuhan yang menimpa siswanya. Padahal untuk bisa diterima di sekolah itu ada tahapan tes psikologi yang harus dijalani tiap siswa.
"Mereka kecolongan, ternyata ada yang sangat emosional masuk dan tergolong bisa melakukan kekerasan fatal," kata Arief Rachman kepada Tempo saat dihubungi pada Senin, 3 April 2017.
Baca juga:
Menteri Muhajir Tanggapi Tewasnya Siswa SMA Taruna Nusantara
Arief menuturkan seharusnya lembaga pendidikan bisa menyalurkan energi negatif seperti itu, misalnya ke pembina dari sekolah tersebut. Dia mempertanyakan kepekaan pembina di sekolah itu. "Apakah dia peka? Ini terjadi kecolongan."
Menurut Arief tak ada satu pun sekolah yang bebas dari kekerasan, karena itulah kekerasan itu harus diminimalisir. Dia menambahkan caranya tentu dengan mengacu kepada undang-undang pendidikan.
Baca pula:
Polri Kebut Berkas Kasus Tewasnya Siswa SMA Taruna Nusantara
Arief melanjutkan sekolah tersebut juga harus meninjau kembali pola pendidikannya, jangan sampai ada anak-anak lolos tes psikologi dengan kematangan emosional yang belum matang. "Tinjau kembali, jangan sampai tes masuk seperti itu."
Meski begitu, Arief mengungkapkan kejadian pembunuhan itu tak mencerminkan keseluruhan pendidikan SMA Taruna Nusantara. Dia yakin sekolah itu memiliki visi dan misi yang baik. "Ini kasus yang melibatkan anak tertentu, tak mencerminkan sekolah," ujarnya.
Silakan baca:
Trauma Siswa SMA Taruna Nusantara: Pak, Ada Pembunuh
Arief juga merasa SMA Taruna Nusantara juga telah banyak melahirkan banyak orang penting di negara ini, sehingga dia tak menginginkan ada citra negatif di sekolah tersebut.
Siswa SMA Taruna Nusantara Kresna Wahyu ditemukan meninggal dunia dengan luka tusuk di lehernya di Barak G17 Kompleks SMA Taruna Nusantara, Magelang pada Jumat dini hari. Kresna ditemukan oleh Riyanto, pengasuh para siswa SMA Taruna Nusantara sekitar pukul 04.00 yang membangunkannya untuk salat subuh.
Kresna dibunuh oleh teman sebaraknya berinisial AMR. AMR merasa sakit hati karena korban pernah mendapatinya menyimpan telepon genggam dan mencuri uang teman lainnya di asrama. Pelaku sempat meminta kepada korban untuk meminta kembali telepon genggamnya, namun karena penggunaan telepon genggam bukan pada jadwalnya, korban menolak.
DIKO OKTARA