TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Orang (SKKPO) mendesak pemerintah untuk menyikapi dengan serius kejahatan perdagangan orang, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut Ketua Umum SKKPO Emmy Saherian, perdagangan orang merupakan kejahatan yang telah menginjak harkat dan martabat manusia.
Padahal, kata Emmy, Provinsi NTT telah ditetapkan sebagai daerah ‘human trafficiking’ pada 2014 oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. “Seharusnya pemerintah NTT lebih serius menyelesaikan kasus tindak pidana perdangan orang (TPPO),” ujar Emmy dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 31 Maret 2017.
Baca juga:
Investigasi Majalah Tempo: Perdagangan Manusia ke Malaysia
Emmy menuturkan setiap tahunnya pergerakan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) asal NTT yang menjadi korban perdagangan orang terus meningkat. Pada 2015, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) mencatat ada 29 orang TKI meninggal di wilayah penempatan kerja. Sedangkan, berdasarkan data Jaringan Kerja Aliansi Menolak Perdagangan Orang atau AMPERA pada 2016, setidaknya ada 53 orang TKI yang meninggal dunia.
Sementara Januari-Februari ini sudah tercatat 18 orang TKI yang meninggal dunia yang mana 90 persen dari mereka tewas di Malaysia. Adapun 15 kabopateng yang jadi kantong-kantong TKI di NTT yang tercatat terdapat pedagangan manusia, di antaranya adalah Timor Tengah Selatan, Kupang, Belu, Timor Tengah Utara, Malaka, Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sabu Rajua, Rote Ndao, Sikka, Flores Timur, Nagakeo, Ende, dan Manggarai Timur.
Baca pula:
Korban Perdagangan Manusia, 8 TKI Brebes ..
“Jika ditelisik data dari kami, usia keberangkatan para TKI ataupun TKW berkisar 14-18 tahun sebanyak 19 persen dan mayoritas berlatar belakang pendidikan SD ada 14 persen,” ujar Emmy.
Emmy menuturkan jumlah tenaga kerja wanita jauh lebih banyak ketimbang pria. Jumlah TKW yang keluar dari NTT mencapai 69 persen, sementara pria hanya 31 persennya. Emmy menilai hal tersebut jadi bukti semakin banyak perempuan dikirim keluar negeri maka semakin besar peluang mereka terjerat dalam perdagangan orang.
“Pada akhirnya NTT akan kehilangan ‘kehidupan’ atau hilangnya generasi dari rahim perempuan,” ujar Emmy. Adapun modus operasi yang sering digunakan para pelaku dengan menggunakan lembaga-lembaga pengarah tenaga kerja untuk merekrut calon korban.
Biasanya, kata Emmy, mereka dijanjikan pekerjaan di dalam dan di luar negeri serta penghasilan yang besar. Adapun wilayah pilihan penempatan kerja tidak memberikan perlindungan atas jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan. Selain itu, mereka kerap mengalami kekerasan fisik, psikis, ekonomi hingga kekerasan seksual.
“Situasi ini jelas melanggar hak asasi dan menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran perbudakan modern yang menimbulkan sakit berkepanjangan, trauma, hilang ingatan hingga kematian,” kata Emmy.
LARISSA HUDA