TEMPO.CO, Padang – Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan rencana menempatkan perwakilan partai politik di Komisi Pemilihan Umum berpotensi melanggar konstitusi. Langkah tersebut juga menyalahi prinsip demokrasi.
”Itu wacana yang tabu secara konstitusional dan prinsip demokrasi,” ujar pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas itu, Senin, 27 Maret 2017.
Baca juga:
Rencana Wakil Partai di KPU, Peneliti: Masak Pemain Jadi Wasit
Menurut Feri, secara konstitusional, Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan dalam perkara 81/PPU-XI/2011. Isinya, anggota KPU tidak boleh berasal dari partai, kecuali telah mengundurkan diri lima tahun dari partai sebelum mendaftar.
Sedangkan secara prinsip demokrasi, kata dia, tidak mungkin wasit merangkap sebagai pemain. Konyol jika publik diminta memahami dan mendukung demokrasi wasit sekaligus menjadi pemain.
”Jadi, jika DPR memaksakan diri, DPR telah melanggar konstitusi dan prinsip demokrasi,” ujarnya.
Baca pula:
Rencana Wakil Partai di KPU Dikritik
Ini 2 Opsi agar Komisioner KPU dan Bawaslu dari Partai Politik
Feri mengatakan, kalaupun DPR memaksa memasukkan wacana itu ke RUU Penyelenggaraan Pemilu, hal itu dianggap batal demi hukum. Sebab, berseberangan dengan putusan MK. Artinya, DPR menentang konstitusi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Lukman Edy membenarkan adanya rencana mengembalikan unsur partai di tubuh KPU dan Bawaslu. Opsi ini muncul setelah Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu menggelar studi banding ke Jerman dan Meksiko beberapa waktu lalu.
”Di sana, penyelenggara pemilu terdiri atas unsur pemerintah, partai politik, dan kehakiman,” kata Lukman, yang juga Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu, Minggu, 26 Maret 2017. Dia menilai adanya perwakilan partai di tubuh KPU dan Bawaslu bisa meminimalkan potensi kecurangan dalam pemilu.
ANDRI EL FARUQI