TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Setara Institute Hendardi menyebut ricuh yang sempat terjadi di lokasi pembangunan Gereja Santa Clara di Jalan Lingkar Utara, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, sebagai peragaan intoleransi. Kericuhan yang terjadi pada Sabtu, 25 Maret 2017, itu melibatkan pendemo yang menolak pembangunan gereja dan aparat yang berjaga.
”Peragaan intoleransi yang disertai kekerasan oleh kelompok intoleran menunjukkan fakta baru,” kata Hendardi, Senin, 27 Maret 2017.
Baca: Gereja Santa Clara Bekasi Klaim Telah Penuhi Semua Persyaratan
Fakta yang dia maksudkan adalah penolakan terhadap pendirian gereja itu bukan menyoal izin dari pemerintah daerah, melainkan penolakan untuk hidup dalam keberagaman. “Kelompok intoleran melakukan aksi semata-mata untuk menunjukkan kelompoknya sebagai yang supreme (tertinggi),” tuturnya.
Hendardi melanjutkan, penolakan tetap terjadi meskipun izin pembangunan Gereja Santa Clara telah diperjelas. Dia pun mempertanyakan sikap kelompok pendemo yang dinilai menentang Wali Kota Bekasi.
Baca Juga:
Baca: Demo Tolak Gereja, FKUB Bekasi: Tidak Ada Manipulasi Tanda Tangan
”Bukan hanya kelompok agama berbeda yang mereka tentang, bahkan Wali Kota Bekasi yang telah mengeluarkan izin pun dipersoalkan,” ujar Hendardi.
Hendardi membenarkan rencana pihaknya membawa isu ini dalam audiensi dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto. Audiensi itu sempat dijadwalkan pada 24 Maret 2017, namun pihak Setara Institute berhalangan hadir. “Ya tentu (akan membahas isu Gereja Santa Clara),” tuturnya.
Baca: Ini Reaksi Menteri Agama Soal Penolakan Gereja Santa Clara Bekasi
Meski begitu, Hendardi, mewakili Setara, masih mengatur kembali jadwal bertemu dengan Wiranto. Agenda utama audiensi itu adalah pemaparan laporan tahunan Setara, terkait dengan isu kebebasan beragama selama 2016. Laporan itu sempat dipublikasi pada akhir Januari 2017.
YOHANES PASKALIS