TEMPO.CO, Yogyakarta - Para peneliti kesehatan reproduksi menyebutkan jumlah remaja yang menikah usia dini masih tinggi. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus pada 2015 menunjukkan terdapat 1,5 juta penduduk usia 15-19 tahun yang menikah dan bercerai.
Remaja tersebut tinggal di perdesaan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Paling banyak pernikahan usia dini tersebar di daerah pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Timur. Dampak dari pernikahan usia dini adalah potensi kematian untuk ibu hamil maupun anaknya.
Baca: Begini Pemerintah Cegah Kehamilan di Usia Dini
Koordinator Johns Hopkins Centre for Communication Program, Eddy Hasmi, mengatakan pusat kesehatan reproduksi pemerintah maupun organisasi non-pemerintah belum menjangkau remaja secara merata di perdesaan.
Baca: Kemenkes Bantah Vaksin Kanker Serviks Bikin Menopouse Dini
“Banyak lembaga yang berkumpul di satu tempat. Tidak merata akses layanan informasinya,” kata dia dalam acara pertemuan nasional kesehatan reproduksi remaja di Hotel Hyaat Regency Yogyakarta, Kamis 23 Maret 2017.
Eddy mengatakan remaja yang mengerti tentang program kesehatan reproduksi hanya 10 persen. Sedangkan remaja yang datang untuk mengakses informasi ke Pusat Kesehatan Masyarakat Remaja dan lembaga lainnya hanya lima persen. Informasi tentang kesehatan reproduksi di internet masih belum mencukupi dan bercampur banyak informasi yang tidak tepat.
Beberapa di antara remaja juga menyebut layanan tidak ramah remaja. Konselor memberikan informasi seperti menggurui. Padahal, mereka lebih senang diajak dialog. Akses informasi ini penting untuk mencegah remaja menikah usia dini. “Mereka gamang mencari layanan kesehatan reproduksi,” kata dia.
Menurut dia, mereka yang hamil di bawah 19 tahun dikategorikan kurang aman. Remaja yang menikah usia dini diduga karena kurang pengetahuan, lingkungan, dan faktor ekonomi. Di perdesaan misalnya, mereka yang hanya lulus sekolah menengah pertama dan tidak punya kegiatan.
Peneliti Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Issac Tri Oktaviati Ratnaningsih, menyebutkan remaja kesulitan mencari informasi untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Riset itu dilakukan di sembilan provinsi mewakili pulau-pulau besar di Indonesia pada November 201-Maret 2017. Di antaranya Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi.
Ia melakukan riset dengan mewawancarai remaja usia 10-19 tahun dan orang tuanya. Mereka mayoritas mengatakan di sekitarnya tidak ada layanan kesehatan reproduksi. Sedangkan, mereka yang berusia 15-19 tahun lebih nyaman berkomunikasi dengan teman sebaya dan mencari informasi tentang kesehatan reproduksi di internet.
Mereka yang berusia 10-14 tahun menginginan memperbincangkan kesehatan dengan orang tuanya. Tapi orang tua bilang belum saatnya. “Orang tua bilang tabu dan tidak tahu harus menjelaskan apa,” kata dia.
SHINTA MAHARANI