TEMPO.CO, Jakarta - Dua orang mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Taufik Effendi dan Taguh Juwarno yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK sebagai saksi dalam lanjutan sidang kasus proyek pengadaan e-KTP, mengaku tidak kenal dengan Andi Agustinus atau Andi Naragong. Dalam dakwaan, Taufik dan Teguh disebut menerima uang yang berasal dari Andi.
Baca juga: Mantan Ketua Komisi II Ini Bantah Terima Uang Suap E-KTP
"Apakah saudara kenal dengan Andi Narogong?," tanya salah satu anggota Majelis Hakim kepada dua saksi itu dalam sidang KTP-E di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, 23 Maret 2017.
"Saya pribadi tidak kenal, tidak pernah berkomunikasi dan sama sekali tidak kenal," kata Teguh.
"Saya tidak kenal sama sekali," jawab Taufik.
"Pernah dengar namanya?," tanya Hakim.
"Maaf yang mulia, saya baru tahu ketika diperiksa di KPK. Kami tidak pernah bertemu dan yang bersangkutan tidak pernah ikut rapat-rapat kami. Saya baru tahu ketika diperiksa KPK," jawab Taufik.
"Apakah ada pertemuan informal dengan Andi Narogong?," tanya Hakim.
"Karena saya hanya sampai pada September 2010, saya tidak aktif lagi pada periode tersebut," kata Teguh.
"Tidak pernah", jawab Taufik.
Teguh Djuwarno adalah Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PAN periode 2009-2010, sedangkan Taufik Effendi mantan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat 2009-2014.
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Dalam dakwaan proyek sebesar Rp5,9 triliun itu, Teguh Djuwarno disebutkan menerima 167 ribu dolar AS, sedangkan Taufik Effendi disebut menerima 103 ribu dolar AS. Dalam dakwaan juga disebut bahwa Andi Narogong memberikan sejumlah uang kepada anggota Komisi II DPR.
Andi di dalam dakwaan juga disebutkan yang akan mengerjakan proyek e-KTP karena sudah terbiasa di Kemendagri.
Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Baca juga: Sidang E-KTP Hadirkan 7 Saksi, di Antaranya Tiga Politikus DPR
Puluhan pihak disebut menikmati aliran dana pengadan KTP Elektronik (KTP) tahun anggaran 2011-2012 dari total anggaran sebesar Rp5,95 triliun, namun sejauh ini KPK baru menetapkan dua tersangka.
ANTARA