TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah pedofilia pada kasus kejahatan seksual terhadap anak. Istilah itu hanya akan menjadi alasan bagi pelaku untuk lolos dari jerat hukum dengan alasan gangguan kejiwaan.
“Kami gunakan istilah kejahatan seksual pada anak,” kata Deputi Perlindungan Anak, Pribudiarta Nur di Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu 22 Maret 2017. Dengan implementasi UU No 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, pelaku diharapkan dihukum maksimal. Ancaman hukuman terendah 10 tahun, dan bisa dihukum seumur hidup atau hukuman mati.
Baca: Kasus Loly Candys, Aktivis Tolak Sebut Pelaku dengan Pedofil
Kementerian berharap pemerintah daerah merehabilitasi anak-anak korban kekerasan seksual. Kalimantan Barat yang berkomitmen mendeklarasikan sebagai daerah layak anak diminta memperkuat proses rehabilitasi para korban kejahatan seksual.
Kementerian pun berjanji akan merehabilitasi anak-anak korban "Official Candy's Groups" yang beroperasi melalui media sosial Facebook. Menurut Pribudiarta, para korban mengalami trauma akibat kekerasan seksual yang mereka alami.
Baca juga:
Maju di Pilkada Jabar, Deddy Mizwar Dekati Partai Bukan Pro Ahok
Sidang Ahok, Pendapat Keagamaan MUI Dinilai Memicu Aksi Demo
Gubernur Kalbar, Christiandy Sandjaya, menambahkan, Provinsi Kalbar dan Kota Pontianak memiliki untuk rehabilitasi para korban kejahatan seksual, termasuk juga anak-anak korban perdagangan. “Namun memang soal maksimal atau tidak masih perlu ditingkatkan, seperti bimbingan psikologi dan pendampingan,” katanya.
ASEANTY PAHLEVY