TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota G20 yang belum mulai memproses keanggotaan di Financial Action Task Force (FATF), lembaga internasional yang bertugas mengawasi tindak pidana pencucian uang.
"Ini menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih rapuh," kata Sri Mulyani dalam konferensi persnya di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa, 22 Maret 2017. "Setiap transaksi dari Indonesia memiliki risiko yang lebih tinggi karena tidak masuk dalam keanggoran FATF."
Pada Juni nanti, Sri Mulyani berencana memproses keanggotaan tersebut ketika ada pertemuan rutin FATF. Kementerian Keuangan bersama PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), Kementerian Luar Negeri, Bank Indonesia, serta Otoritas Jasa Keuangan, akan memperkuat regulasi mengenai pidana pencucian uang.
Dalam pertemuan negara-negara G-20 di Jerman pekan lalu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah mulai mempromosikan keinginan Indonesia itu. "Jerman mendukung dan menyokong," kata dia. "Prancis, Inggris, Australia, Kanada, semuanya mendukung Indonesia untuk menjadi anggota."
Indonesia sempat masuk daftar hitam Financial Action Task Force pada Februari 2012. Negara ini dianggap paling berisiko soal pendanaan terorisme dan pencucian uang. Ada tiga syarat yang tak mampu dipenuhi, yakni kriminalisasi terorisme, kriminalisasi pendanaan terorisme, dan membekukan aset milik terduga teroris. Sejak itu, Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme diterbitkan.
Rupanya, undang-undang tadi belum menjawab tuntutan mengenai pembekuan aset. Alhasil, Indonesia masuk dalam wilayah abu-abu. Pada Juni 2015, FATF mengeluarkan Indonesia dari wilayah abu-abu menyusul terbitnya peraturan bersama tentang pemblokiran dana milik orang atau korporasi yang tercantum dalam daftar terduga teroris.
ANGELINA ANJAR SAWITRI