TEMPO.CO, Jakarta - Kematian Patmi meninggalkan luka mendalam bagi peserta aksi 'Dipasung Semen' jilid dua. Perempuan, 48 tahun, warga Kendeng, yang menjadi bagian dari aksi itu, meninggal pada Selasa dini hari, 21 Maret 2017, pukul 02.55 di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat.
Patmi bersama lebih dari 50 warga Kabupaten Pati dan Rembang, melakukan aksi 'Dipasung Semen' untuk menyampaikan protes kepada pemerintah pusat dan daerah atas pengoperasian pabrik semen milik PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah.
Baca: Detik-detik Meninggalnya Patmi, Peserta Dipasung Semen
Koko, salah satu anggota Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengungkapkan kesedihannya atas meninggalnya Patmi. "Setelah melakukan aksi hari ke-8 kemarin, saya ingin katakan bahwa kita semua akan mati, cuma kita yang bisa pilih jalan sebelumnya. Mati dalam mencintai ibu pertiwi atau mendurhakai ibu pertiwi," ujar Koko, di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017.
Koko menilai Patmi sebagai sosok pejuang yang berani. Ia mengibaratkan Patmi sebagai sebuah padma atau bunga. Ia berharap kematian Patmi justru bisa dijadikan momentum untuk menumbuhkan bunga-bunga yang bermekaran. Selain itu, kepergian Patmi bisa menjadi momen untuk menumbuhkan bunga perlawanan di seluruh nusantara dalam memberantas kezaliman.
Ani, peserta aksi 'Dipasung Semen' lain, mengenang sosok Patmi. Ia menyaksikan bagaimana gigihnya perjuangan Patmi hingga akhirnya dia mengecor kakinya di depan istana. Ani dan Patmi, sama-sama tinggal di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, namun beda kecamatan. Ani tinggal di kecamatan Tambakromo, sementara Patmi tinggal di kecamatan Kayen.
Baca: Patmi, Petani Kendeng Peserta Aksi Dipasung Semen Meninggal
Menurut Ani, Patmi adalah sosok orang turut memperjuangkan kelestarian alam di Gunung Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. “Ibu Patmi mulai mencium bau akan berdirinya sebuah pabrik semen. Lalu, secara spontan beliau ikut gerakan itu. Yang mana perjuangan aksi dia ikut, jalan kaki dari Pati-Semarang, dia juga ikut. Lalu, jalan kaki dari Rembang-Semarang, juga ikut. Bahkan, jalan kaki dari Ngerang-Pati pun juga ikut,” ujar Ani sambil terisak.
Sebenarnya Ani berencana mengakhiri perjuangannya setelah peserta aksi ‘Dipasung Semen’ bertemu pihak istana pada Senin kemarin, 20 Maret 2017. Aksi tersebut ternyata akan dilanjutkan oleh sembilan orang, sisanya diminta pulang ke Pati. Namun, Patmi menolak untuk pulang. Ia memilih tetap melanjutkan perjuangan untuk menolak tambang semen di sana.
“Karena begitu gigihnya dia juga tetap akan di sini. Tidak mau pulang katanya. Tapi, saya disuruh tinggalkan dia, Tapi tidak tahu jadinya seperti ini.,” ujar Ani tersedu-sedu.
Baca: Pelaku Aksi Dipasung Semen Meninggal, Ini Kata Dokter
Siti mengungkapkan kekecewaannya terhadap pemerintah. Ia menilai pemerintah abai dengan keresahan rakyatnya sendiri. Pahadal, kata Siti, ia bersama kawannya telah berjalan kaki dari Pati ke Semarang sebanyak dua kali, lalu jalan kaki dari Ngerang ke Pati sebanyak tiga kali. Setelah itu, perjuangan dilanjutkan dengan pengecoran kaki di Jakarta.
“Kenapa dengan bapak pejabat kita? Padahal saya orang Jawa Tengah, kenapa enggak ada yang jenguk, satu pun tidak ada? Saya sangat sedih. Saya sempat berbincang, kaget waktu permohonan ke MK (Makhamah Konstitusi) ditolak,” ujar Siti.
Menurut Siti, penambangan semen di Gunung Kendeng hanya akan berujung konflik. Pasalnya, sebagian besar masyarakat mengklaim tempat tinggalnya merupakan miliknya pribadi.
“Kalau itu ditambang, yang jadi korbannya rakyat. Itu pasti perang. Tanah rumah itu punya penduduk. Nanti akhirnya perang. Pasti itu. Yang rugi ya rakyat, negara. Tolong dipikir, ini pasti diperangi karena tanah itu milik penduduk seluruhnya,” ujar Siti.
LARISSA HUDA