TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum pidana, Djisman Samosir, menceritakan asal muasal Pasal 156 dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kedua pasal tersebut digunakan untuk menjerat terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kasus dugaan penodaan agama.
Djisman menuturkan, Pasal 156 sudah terlebih dulu ada dalam KUHP, yang merupakan aturan sejak zaman penjajahan Belanda pada 1918. Sementara Pasal 156a, kata dia, baru disisipkan pada 1965.
"Pada waktu itu ada kondisi-kondisi di negara ini yang menurut penglihatan pemimpin negara, ada persoalan-persoalan keagamaan," kata Djisman, saat menjadi saksi di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa, 21 Maret 2017.
Baca : Sidang Ahok, Ahli Linguistik UI Jelaskan Arti Kata `Pakai` dalam Pidato
Djisman mengatakan, penyisipan itu dilakukan melalui Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965. Menurut dia, Pasal 156a merupakan satu-satunya pasal yang disisipkan, dan sudah diatur dalam Pasal 4 PNPS tersebut.
Selain itu, juga ada prosedur mengenai peringatan keras terhadap orang yang melakukan penodaan agama, misalnya peringatan dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung.
Menurut Djisman, PNPS Nomor 1 Tahun 1965 dibuat karena pasal penodaan agama yang sudah lebih dulu ada di KUHP, belum secara tegas mengatur hukuman bagi tindakan penodaan agama.
Di antaranya Pasal 154, 155, dan 156 yang hanya membahas tindakan penodaan atau terkait kebencian terhadap terhadap suku, golongan, pemerintah, dan kelompok tertentu.
Simak pula : Syahrini Sengaja Disebut Handang dalam Sidang Suap Pajak, Namun...
Ahok didakwa pasal alternatif yaitu Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP. Dalam Pasal 156, hukuman pidana penjara maksimal empat tahun untuk seseorang yang dengan sengaja menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia.
Sedangkan, Pasal 156a mengatur pidana penjara maksimal lima tahun untuk seseorang yang secara spesifik mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
FRISKI RIANA
Baca juga : Netty Digadang Jadi Calon Gubernur Jawa Barat, Aher: Ngalir Saja