TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Proklamasi Anak Indonesia (PAI), Bayu Jiwo menyatakan penyebutan pedofilia dalam kasus kekerasan seksual di akun grup Facebook Loly Candys bisa menjadi celah pelaku lolos dari jerat hukum. Itu sebabnya, Bayu meminta penyebutan pedofil kepada pelaku dihentikan.
"Penyebutan pedofilia adalah bentuk pelunakan dari kejahatan seksual pada anak," kata dia, dalam surat elektroniknya, Selasa 21 Maret 2017.
Baca: Korban Pedofil Grup Facebook Loly Candys 18+ Bertambah
Dia menuturkan, dalam psikologi, pedofilia disebut sebagai tindakan seksual abnormal. Menurut Diagnostic and Statistic Manual edisi kelima, pedofilia merupakan salah satu bentuk gangguan parafilia, di mana gangguan pedofilia memiliki hubungan yang kuat dan berulang terhadap dorongan dan fantasi seksual tentang anak-anak pra-puber. Implikasi penyebutan pedofil terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam pornografi anak online atau daring melalui akun grup Facebook Loli Candy ini mengakibatkan beberapa hal.
Pertama, miskonsepsi pedofilia dan kekerasan seksual terhadap anak (child molestation). Kedua, potensi atau celah hukum yang meringankan pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Mamik Sri Supatmi, dosen Kriminologi Universitas Indonesia mengatakan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang terbanyak ditemukan berasal dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Bahkan pelaku juga memiliki kedekatan emosional dengan anak.
Baca: Polri Gandeng FBI Telusuri Kejahatan Pedofilia di Facebook
Berdasarkan beberapa studi, Mamik menjelaskan, separuh pelaku kekerasan terhadap anak tidak benar-benar tertarik secara seksual kepada korbannya. Diagnosa pedofilia hanya dapat dilakukan oleh psikiater forensik yang memeriksa dengan alat ukur tertentu kepada tersangka pelaku kejahatan seksual terhadap anak. “Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang tidak singkat," ucap dia.
Hasil pemeriksaan berupa visum et psikiatrikum. Itu sebabnya, menurut Mamik, menggeneralisir pelaku kejahatan seksual terhadap anak sebagai pedofil dan pendefinisian pedofil terhadap tersangka online child pornography melalui akun grup Facebook Loly Candys tanpa melalui pemeriksaan medis yang kompeten, "Sangatlah tidak dibenarkan dan justru akan menimbulkan masalah baru,” tutur Mamik.
Mamik melanjutkan, pedofil tidak selalu mengekspresikan dalam perilaku kekerasan seksual terhadap anak. Bahkan, kata dia, pelaku kejahatan seksual terhadap anak, sebagian besar adalah bukan pedofil. Jumlah terbesar pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah orang-orang terdekat anak. Mereka adalah orang-orang (umumnya adalah laki-laki) yang dianggap ‘normal’ dalam masyarakat (memiliki pasangan perempuan, menikah, memiliki anak-anak, dan tampak sayang dengan anak-anak).
Baca: Grup Emak-emak Pembongkar Awal Pedofilia Online
Berdasarkan jurnal yang diterbitkan oleh OJJDP (The Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention) melalui data sistem pelaporan berbasis insiden tahun 2004 kepada 24.344 pelaku, menyatakan karakteristik pelaku dewasa yang melakukan kekerasan seksual kepada anak memiliki ciri-ciri: 13,5 persen pelaku lebih dari 2 orang, karakter korban 31,9 persen keluarga dan 54,8 persen kenalan, 79,6 persen peristiwa terjadi di rumah, sebanyak 37,3 persen terjadi di siang hari.
Mamik menyebut celah hukum meringankan atau bahkan menghapus kesalahan orang dengan penyakit jiwa dapat ditemukan pada Pasal 44 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Untuk itu, menyebut pelaku kekerasan seksual terhadap anak sebagai pedofilia berpotensi untuk digunakan sebagai alasan pemaaf bagi para pelaku.
"Penggunaan alasan penyakit jiwa sebagai alasan pemaaf atau keluar dari jeratan hukum," ucapnya.
Adapun Proklamasi Anak Indonesia (PAI) adalah jaringan yang terdiri dari 40 lebih organisasi, lembaga, program, kelompok non pemerintah, dan individu yang memiliki visi menjadi jaringan nasional untuk mendorong terwujudnya kehidupan berkualitas bagi anak. Proklamasi Anak Indonesia lahir pada 2015 bertepatan dengan perayaan Hari Anak Nasional 2015 di Jakarta.
NIEKE INDRIETTA