INFO INDONESIA KERJA - Di sela kesibukan mengurus pesanan untuk Ibu Negara Iriana Joko Widodo, Wenni tetap menyambut kami dengan ramah. Siang dua pekan lalu, wanita bernama lengkap Vielga Wennida ini sedang berada di salah satu gerai Roemah Kebaya miliknya, yang berada di lantai 1 Pusat Perbelanjaan Thamrin City, Jakarta Pusat.
Colourful. Itulah kesan pertama yang saya tangkap di gerainya, yang memajang deretan kebaya dan kain batik. Dengan pilihan warna-warni segar, tentu membuat saya semangat menyusuri helai demi helai kebaya bordir, yang menjadi produk andalannya.
Di tangan Wenni, kebaya bordir ini terasa kekinian. Nuansa warna yang itu-itu saja, cenderung monoton, dan kerap diidentikkan dengan “selera” orang tua tak tampak di sini. Dari modelnya saja, yang dominan berlengan pendek, Wenni seakan ingin “mendobrak” kesan kebaya harus tangan panjang, formal, dan pasarnya ibu-ibu. Hal itu itu pula menjadi alasan Wenni mulai tertarik mengembangkan kain bordir dari kampung halamannya, di Desa Simalanggang, Payakumbuh, Sumatera Barat.
“Desa Simalanggang memang tempatnya perajin bordir. Kualitas bordirnya pun bagus. Tapi saat itu, sekitar 2009, untuk selera masyarakat Jakarta, rasanya belum masuk,” kata Wenni membuka cerita. Padahal para perajin bordir itu amat produktif meski pemasarannya masih terbatas.
“Mereka menggendong sendiri dagangannya. Ada yang ke Malaysia dan terkadang harus ‘kucing-kucingan’ dengan petugas Bea Cukai,” ujar Wenni. Melihat kenyataan itu, hatinya tergerak. Lantas, perempuan kelahiran Payakumbuh, 1 Juni 1977 ini, pun memutuskan fokus mengembangkan kerajinan bordir asal kampung halamannya.
Namun masa-masa awal memang membutuhkan kerja keras. Terutama menciptakan model kebaya yang update dan pastinya dengan kualitas bordir yang prima. “Saya penasaran kenapa, ya, kita enggak membuat style yang seperti ini, style-nya orang Jakarta,” ucap Wenni meyakinkan. Artinya, kata dia, model kebaya tak melulu klasik, lengannya bisa dipendekkan, dan pilihan warna yang lebih beragam.
Untuk menjawab rasa penasaran itu, kebaya bordir hasil karya pertamanya ia sertakan dalam beberapa ajang pameran di Jakarta. Ternyata responsnya bagus. Alhasil, mulai 2010, Wenni memberanikan diri mengikutsertakan kebaya-kebaya bordir dengan merek Roemah Kebaya dalam acara peragaan busana. “Inilah awal saya menekuni bordir,” ucap ibu berputri satu ini.
Tak tanggung-tanggung, Wenni pun harus rela melepaskan status karyawan dari tempatnya bekerja. Lalu berkecimpung total di dunia fashion alias Roemah Kebaya ini. Meski hanya sempat menimba ilmu sekitar tiga bulan di sekolah mode ESMOD dan berlatar belakang pendidikan akuntansi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Wenni mengawali proses pengerjaan bordir ini mulai dengan menggambar motif, desain baju, hingga pengerjaan. “Bordir tetap dikerjakan perajin dari Desa Simalanggang, lalu dijahit di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan,” ujar Wenni. Setidaknya, sekitar 150 perajin bordir di kampungnya ikut ambil bagian membuat bordir untuk Roemah Kebaya. Jika awalnya kain foal (semacam katun) yang digunakan, sekarang Wenni sudah menggunakan beberapa jenis kain, seperti sutra organdi, batik, kain tenun, serta duchess (satin).
Urusan kualitas pun tak bisa main-main mengingat bordir ini membutuhkan keterampilan khusus dalam pengerjaannya. Misalnya, ada yang khusus membuat bunga dan ada yang khusus membuat daun. Lalu, bagaimana cara memilih bordir yang baik? Wenni mencontohkan,“Dari teknik jahit, kita bisa melihat padat atau tidaknya jahitan. Kalau benangnya padat, halus, dan serat bajunya tidak kelihatan, itu bordiran yang bagus,” kata dia.
Begitu pun untuk jenis benang yang digunakan hanya menggunakan satu merek. Benang yang tidak luntur dan tidak “keriting” saat dijahit. “Benang juga buatan dalam negeri,” ujar Wenni. Dia menekankan hampir 90 persen produknya adalah karya dalam negeri. Hanya bahan organdi dan duchess, yang mau tak mau masih menggunakan produk ‘luar’ karena kualitas yang diinginkan belum didapat di dalam negeri.
Selebihnya, mengingat sebagian pelanggannya berbusana muslimah, Roemah Kebaya pun mengeluarkan seri bordir untuk baju muslim berupa outer panjang, seperti kebaya, dan yang terbaru adalah model blazer. “Meski menggunakan bordir, blazer tetap terkesan simpel dan saat dipakai ke kantor pun tetap gaya,” ucap Wenni sambil menunjukkan blazer yang dikenakannya saat wawancara. Outer panjang semata kaki yang bisa digunakan untuk gaun muslimah, menurut dia, bisa pula dikenakan untuk kesempatan formal ataupun kasual. “Jadi bordir ini sebenarnya variatif banget,” kata Wenni.
Model kebaya encim, yang merupakan cikal bakal Roemah Kebaya, selain bisa tampil glamor dengan bahan lace atau brokat, juga bisa didesain dengan tampilan lebih kasual, misalnya saat pesta pernikahan yang berkonsep pesta taman.
Kebaya dan Keraton Majapahit adalah sepenggal catatan sejarah yang tak bisa dihapus. Jika dulu kebaya dikenakan permaisuri dan para selir, kini semuanya telah bergeser. Kebaya bukan lagi dominasi kaum aristokrat, tapi milik semua kalangan. (*)