TEMPO.CO, Yogyakarta - Seorang peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyatakan pihaknya menolak kampus UGM dijadikan lokasi sosialisasi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saat ini, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat giat menyosialisasi rancangan undang-undang untuk merevisi UU KPK. Salah satunya akan diselenggarakan di Fakultas hukum UGM.
"Kami jelas menolak," kata Zainurrohman, peneliti di Pukat UGM, Senin, 20 Maret 2017.
Baca: Revisi UU KPK, Fahri Hamzah: Saya Ikut Presiden Jokowi
Pada Rabu, 22 Maret 2017, akan dilaksanakan seminar nasional tentang revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. DPR melakukan road show ke universitas-universitas untuk sosialisasi revisi yang oleh banyak orang dianggap melemahkan komisi antirasuah.
Sebab, menurut Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, revisi undang-undang itu justru melemahkan, bukan menguatkan. Pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK saat ini masih cukup efektif, sehingga tidak perlu ada revisi UU KPK.
"Upaya revisi UU KPK yang dilakukan saat ini akan berdampak sistematis terhadap melemahnya gerakan pemberantasan korupsi,” ucap Laode dalam seminar “Menelusuri Peran dan Kinerja DPR dalam Pemberantasan Korupsi” di kampus UGM.
Simak: Ipar Jokowi Ungkap Koper Duit Rp 1,5 Miliar dari Mohan di Mobilnya
Poin-poin yang dinilai melemahkan ruang gerak KPK antara lain penuntutan dikembalikan ke kejaksaan, pengaturan penyadapan, pembentukan dewan pengawas, kenaikan nominal anggaran kerugian yang ditangani KPK. Penuntutan dikembalikan ke kejaksaan dinilai belum saatnya dengan melihat kondisi institusi itu.
Soal penyadapan, ia menjelaskan, orang tidak akan takut disadap jika tidak melakukan kesalahan. Untuk menyadap telepon, KPK tidak boleh sembarangan dan harus didasari projusticia.
Bahkan ia menyindir institusi lain yang juga melakukan penyadapan tapi tidak dimasalahkan, yaitu kepolisian, Badan Narkotika Nasional, dan Badan Intelijen Nasional.
"Kami ini tidak takut diawasi. Kalau mau diatur, diatur semuanya. Semua institusi antikorupsi di dunia melakukan penyadapan," ujar Laode.
Baca juga: Penculikan Warga Malaysia, Pelaku Minta Tebusan Rp 50 Miliar
Dia juga menyoroti rencana menaikkan nominal kerugian negara yang ditangani KPK, yaitu dari Rp 1 miliar menjadi Rp 5 miliar. Bahkan ada rencana dinaikkan menjadi Rp 50 miliar. "KPK versi Singapura bisa menangani kerugian negara 10 dolar saja," tuturnya.
Ia menegaskan, jika DPR membuat inisiasi yang bertentangan dengan keinginan rakyat, itu justru akan menodai kepercayaan rakyat terhadap Dewan. Mereka seharusnya mendengarkan keinginan rakyat dalam pemberantasan korupsi.
Ketua Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar dalam seminar menyatakan kewenangan DPR terlalu besar, sehingga ada kemungkinan terjadi penyelewengan.
"Kewenangan DPR terlalu luas. Fungsi pengawasan terlalu luas tanpa didukung dengan komitmen dan kemampuan yang mumpuni. Dalam beberapa kasus, justru membuka peluang terjadinya pemerasan dan aksi suap-menyuap," katanya.
MUH SYAIFULLAH