TEMPO.CO, Jakarta - Sudah sepekan lamanya para petani asal Kendeng, penolak pembangunan pabrik Semen Indonesia di Rembang melakukan aksi menyemen kaki mereka di depan Istana Kepresidenan. Mereka tidak akan pulang sebelum bertemu Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan persoalannya.
Pada hari pertama, Senin, 13 Maret 2017, aksi #dipasungsemen2 ini diikuti 10 petani Kendeng. Aksi tersebut dilakukan setiap hari hingga Jumat lalu, 17 Maret 2017, warga berdatangan hingga mencapai 50an orang baik perempuan dan laki-laki yang kakinya dipasung dengan semen atau dicor semen hingga mengeras itu.
Baca juga:
Aksi Semen Kaki, Petani Tak Mau Pulang Sebelum Ketemu Jokowi
Para peserta aksi berdatangan sejak sekitar pukul 14.30. Mereka diangkut dengan mobil pikap, karena kedua kaki mereka yang sudah lebih dahulu disemen. Aksi unjuk rasa itu hanya digelar hingga pukul 17.00.
Aksi itu didukung sejumlah lembaga swadaya publik seperti Komisi Nasional untuk HAM, Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Tanpa melepas semen di kaki, para petani Kendeng itu bermalam di Gedung LBH, Menteng, dan sejumlah wisma.
Baca pula:
Curhat Petani Kendeng dalam Aksi Semen Kaki di Depan Istana
Selama aksi, mereka menginap di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang juga kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta Pusat. Mereka tak berunjuk rasa pada Sabtu dan Minggu. Mereka seharian berada di LBH Jakarta pada Sabtu kemarin, 18 Maret 2017.
Para petani perempuan yang kakinya dipasung semen menempati dua ruangan di kantor itu, yakni ruang Mochtar Lubis dan PK Ojong. Sedangkan para pria berselonjor atau duduk dengan kursi di ruang tengah.
Mereka tetap bisa makan, tidur, dan ke kamar mandi. Mereka dibantu para warga Kendeng yang tak menyemen kakinya. Ada pula beberapa anggota dari berbagai komunitas yang peduli kepada mereka turut membantu pula.
Misalnya, ketika Sumarmiyatun hendak ke kamar mandi. Tiga orang akan membantunya naik ke alat pengangkut yang dilengkapi roda dan mengantarnya ke kamar mandi. Sumarmiyatun berasal dari Rembang. Dia termasuk warga yang menyusul ke Jakarta. Dia datang hari Jumat pagi dan siangnya, kakinya dipasung di depan istana. Untuk sementara waktu, Sumarmiyatun meninggalkan pekerjaannya sebagai petani. Dia menitipkan pekerjaannya ke suaminya di kampung.
Kelompok musik Marjinal kemarin menghibur para warga Kendeng ini sekitar empat jam lamanya, lewat musik mereka. Mike, sang vokalis, tak lupa menyanyikan lagu ciptaan mereka buat para warga Kendeng, Kartini-Kartini Rembang Pasti Menang.
"Iya, artinya bahwa silaturasa, ini yang bisa kami lakukan saat ini," ujar Mike. Dia menjelaskan kegiatan dipasung semen ini berarti aktivitas kehidupan yang ingin dimusnahkan. "Semen ini sebenarnya sebagai bahasa protes," katanya, lagi.
Mike menganggap pilihan warga yang menyemen kakinya sangat radikal dan total. "Mereka juga tidak mau melakukan ini, tapi ini bentuk perjuangan atas kepedulian mereka terhadap lingkungan dan tanah air, terhadap pabrik semen yang akan berdiri," kata dia.
Mike berujar pemerintah lebih menyokong investor dengan berbagai proyeknya. Termasuk dengan membangun pabrik semen dan menghancurkan rumah-rumah anak manusia. Padahal, ujar dia, warga ini cuma mau jadi petani dan hasil pertaniannya juga menghidupi orang-orang kota. "Kami berharap pemerintah lebih arif, bijaksana, open minded, punya jiwa nasionalisme, dan kebangsaan yang kuat. Tolak pabrik semen," kata dia.
Karyadi yang tengah dipasung juga turut membacakan karyanya di acara hiburan kemarin. "Negara opo iki? Negoro kok rakyate digawe sengsoro, digawe cengkrah karo sedulure dewe.. (Negara apa ini? Negara kok rakyatnya dibuat sengara, dibuat bercerai berai dengan saudaranya sendiri)," ujar pria 41 tahun asal Pati itu.
REZKI ALVIONITASARI I ARKHALEUS W. I S. DIAN ANDRYANTO