TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyampaikan bahwa perkara perusakan terumbu karang di Raja Ampat, Papua, memungkinkan untuk diselesaikan secara pidana. Sebab, ada UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menjadi acuan. Meski begitu, bukan berarti mudah.
"Kalau pelakunya tidak ada di Indonesia, pasti prosesnya akan sulit," ujar Hikmahanto saat berbincang-bincang dengan Tempo via telepon, Sabtu, 18 Maret 2017.
Sebagaimana diberitakan, zona terumbu karang seluas 1,3 hektare di Raja Ampat rusak akibat diterabas kapal pesiar MV Caledonian Sky. Hal itu memicu pemerintah untuk mengambil langkah hukum. Adapun pemerintah mempertimbangkan tiga langkah hukum, yaitu perdata, pidana, dan administrasi.
Hikmahanto menjelaskan, langkah pidana akan lebih sulit dibandingkan perdata karena penegak hukum Indonesia harus mencari orang yang diduga bertanggung jawab atas perusakan di Raja Ampat dan memiliki bukti permulaan. Selain itu, harus memastikan orang itu bisa dibawa ke Indonesia.
Permasalahannya, kata Hikmahanto, tempat asal orang yang bertanggung jawab tersebut akan menjadi penentu bisa atau tidaknya ia dibawa ke Indonesia. Jika tempat asalnya tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, akan diperlukan upaya ekstra.
"Nah, faktor-faktor ini perlu dievaluasi untuk langkah pidana. Memang akan lebih rumit," ujar Hikmahanto.
Sejauh ini, pihak yang dianggap bertanggung jawab atas insiden di Raja Ampat adalah sang nakhoda kapal yang bernama Keith Michael Taylor. Taylor berkebangsaan Inggris, tapi sekarang berdomisili di Florida, Amerika Serikat. Sejauh ini, Indonesia tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Amerika.
ISTMAN M.P.