TEMPO.CO, Pangkalpinang - Rapat koordinasi Kepolisian Daerah (Polda) Kepulauan Bangka Belitung dengan para pengusaha timah dalam rangka penghijauan kawasan pascatambang menjadi ajang Kapolda Bangka Belitung Brigadir Jenderal Anton Wahono melampiaskan kekesalannya. Hal ini terkait dengan lingkungan yang rusak akibat aktivitas pertambangan, tapi para pengusaha dinilai lepas tanggung jawab ihwal perbaikan lingkungan.
"Tidak ada tanggung jawab dan tidak ada kesadaran. Jangan mentang-mentang sudah setor dana jaminan reklamasi, tanggung jawab ditinggal begitu saja," tutur Anton dalam rapat koordinasi penghijauan kawasan pascatambang di ruang rupatama, Mapolda Bangka Belitung, Kamis, 16 Maret 2017.
Baca: Marak Tambang Timah Ilegal di Babel, Siapa Tanggung Jawab?
Anton bahkan meminta pengusaha jujur dan mengaku apabila memperoleh pasir timah murni yang berasal dari wilayah izin usaha pertambangan yang sudah diterbitkan. "Coba jujur dari hati dan tunjuk tangan pengusaha di sini yang mendapatkan timah dari wilayah pertambangannya sendiri. Tidak ada kan yang tunjuk tangan," ujar dia.
Anton menuturkan, peraturan pertambangan menyebut timah wajib berasal dari wilayah izin usaha pertambangan yang sudah ada. Para pengusaha smelter timah harus menambang di wilayahnya masing-masing. "Kalau masih tidak sesuai aturan akan kami proses. Kami bukan cari-cari kesalahan. Kalau dicari pasti akan ketemu salahnya. Tidak ada pengusaha yang bersih," ujar dia.
Itu sebabnya, Anton mengajak para pengusaha timah dapat berperan aktif dalam rencana penghijauan kawasan pascatambang timah. Reklamasi lahan yang dilakukan adalah dengan mengedepankan asas manfaat.
Baca: Kemen LH & Kehutanan Optimis Kerusakan Lingkungan Menurun
Pada tahap awal, Anton meminta pengusaha mereklamasi lahan paling tidak sepuluh hektare. Menurut dia, reklamasi dilakukan dengan menanam jenis tanaman produktif agar bisa menunjang kebutuhan pokok masyarakat. Dengan demikian, memberi manfaat bagi warga untuk menekan inflasi. "Saya tidak mau disalahkan karena melakukan pembiaran lingkungan rusak. Saya jadi dinamisator agar semua bergerak," kata Anton.
Anggota Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) Bangka Belitung, Bambang Herdiansyah, mengatakan isu perusahaan swasta menampung timah di luar IUP bukan hal baru. Hal tersebut dijembatani oleh para pengepul timah atau yang sering disebut kolektor.
Bambang menuturkan, pasir timah yang dibeli kolektor dari masyarakat yang notabenenya dari tambang ilegal, dijual lagi ke perusahaan smelter. Ketika sudah masuk, pasir timah tersebut seolah-olah didapat dari IUP perusahaan. Pengesahannya pun dilakukan oleh surveyor. "Kasus ini pernah terbongkar dan ditangani Polda Bangka Belitung beberapa waktu silam," ujar dia.
Baca: Bisakah Indonesia Jadi Penentu Harga Timah Dunia?
Bambang menambahkan, selama tidak ditindak tegas, keberadaan kolektor jelas akan mengeksiskan aktivitas tambang timah ilegal. Sebab tidak mungkin tambang ilegal yang dilakukan masyarakat akan eksis jika tidak ada orang-orang yang bertindak sebagai pembeli.
"Kami berharap ini menjadi perhatian. Masyarakat bisa menambang dengan aturan yang sudah ditetapkan dalam undang-undang minerba. Baik itu dengan pola kemitraan dengan BUMN, atau dengan menetapkan wilayah pertambangan rakyat," tuturnya.
SERVIO MARANDA