TEMPO.CO, Jakarta - Sejarawan Bonnie Triyana menuturkan peristiwa penolakan mensalatkan jenazah tidak hanya terjadi saat ini. Namun pada era Presiden Sukarno, penolakan itu pun muncul. “Ada, zaman tahun 1965 ketika pembantaian massal PKI,” kata dia saat dihubungi Tempo, Selasa, 14 Maret 2017.
Bonnie menceritakan saat itu persoalan penolakan merumat jenazah terungkap ketika Presiden Sukarno berpidato di hadapan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Istana Bogor pada 18 Desember 1965.
Baca : Soal Tolak Sala Jenazah, Imam Masjid Istiqlal: Bisa Dosa Massal
Bonnie menuturkan saat itu, terjadi pembunuhan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali hingga mencapai 300 ribu orang korban. Presiden Soekarno saat itu geram karena mayat-mayat korban pembunuhan dibiarkan tergelatak. Sebab, muncul ancaman bagi siapapun yang hendak merumat mayat-mayat tersebut maka akan dibunuh.
Sikap Presiden Soekarno saat itu sangat tegas dan menolak siapapun yang tidak mau merumat jenazah. Bahkan dalam pidatonya, Presiden Sukarno menyampaikan apabila ada jenazah sampai dimakan binatang karena digeletakkan di bawah pohon maka semua ikut bertanggungjawab. “Dia pidato, marah-marah,” kata Bonnie.
Bonnie menuturkan Presiden Sukarno saat itu menyampaikan membiarkan mayat tanpa merumat merupakan bentuk pertentangan terhadap fardlu kifayah Islam.
Simak juga : Kisruh Jenazah Nenek Hindun, Lukman: Saya Tak Bisa Menindak Takmir
Meski begitu, Presiden mengakui tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk merumat jenazah mereka yang non muslim. Namun BUng Karno, kata dia, mengimbau agar rakyat Indonesia mengedepankan solidaritas kemanusiaan.
Menurut Bonnie kejadian pada 1965 memiliki kesamaan dengan yang terjadi sekarang. Saat ini yaitu sejumlah musala memasang spanduk penolakan mensalatkan jenazah bagi pandukung penista agama. “Pola ancamannya sama, tapi peristiwanya kan beda. Unsur agama ada juga,” kata dia.
DANANG FIRMANTO