TEMPO.CO, Pekanbaru - Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan telah mengirim surat ke Pengadilan Negeri Pekanbaru, terkait eksekusi vonis denda Rp 16,2 triliun PT Merbau Pelalawan Lestari (PT MPL) oleh Mahkamah Agung dalam kasus kerusakan lingkungan hidup.
"Tanggal 21 Februari 2017, surat usulan kita kepada Ketua PN (Pengadilan Negeri) Pekanbaru untuk permohonan eksekusi kasus PT Merbau Pelalawan Lestari," kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani kepada Antara di Pekanbaru, Senin, 13 Maret 2017.
Baca juga: KLHK Temukan Jejak Pembalakan Liar Baru di Bengkalis
Ia menegaskan bahwa saat ini pihaknya telah menyerahkan proses eksekusi kepada Pengadilan Negeri Pekanbaru. "Ya kita berharap secepatnya," ujarnya.
Sementara itu, ia menjelaskan sebelum melayangkan surat tersebut, KLHK telah berkoordinasi dengan seluruh pihak. Di antaranya Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan, dan Kejaksaan Agung. "Saya pimpin langsung koordinasi ini untuk memetakan aset (PT MDL) semuanya," tuturnya.
Rasio menjelaskan bahwa eksekusi tersebut merupakan bukti keseriusan KLHK untuk memperjuangkan dan melindungi kawasan hutan.
KLHK mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum PT MPL pada 26 September 2013. MA mengabulkan permohonan kasasi tersebut bahwa PT MPL melakukan penebangan hutan di luar konsesi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan penebangan hutan di dalam konsesi IUPHHK-HT dengan melanggar ketentuan peraturan perundangan berlaku.
Lihat pula: Laju Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia Tercepat di Dunia
Hukuman sebesar Rp 16,2 triliun itu dihitung berdasarkan akibat kerusakan lingkungan hidup karena pembalakan liar di hutan seluas 5.590 hektare, yaitu sebesar Rp 12 triliun. Terbukti pula merusak lingkungan di atas lahan seluas 1.873 hektare dengan kerugian Rp 4 tirliun.
"Menghitung kerugian lingkungan hidup, khususnya masalah perusakan lingkungan terkait kawasan hutan karena kawasan hutan memiliki kekhususan tersendiri memerlukan kategori tersendiri, yaitu adanya kerugian ekologis dan biaya pemulihan kerugian dan biaya pemulihan yang dituntut Penggugat di dalam petitum gugatannya," ucap majelis dengan suara bulat pada 18 Agustus 2016 seperti dirilis dari situs resmi Mahkamah Agung.
Direktur MPL Ahmad Kuswara sebelumnya menanggapi bahwa PT MPL tidak akan sanggup membayar denda hingga Rp 16,2 triliun. PT MPL menyatakan akan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan MA. Ahmad menduga ada kekeliruan dalam putusan MA yang menghukum perusahaannya dengan denda hingga Rp 16,2 triliun. Sebab, dalam persidangan di pengadilan negeri dan pengadilan tingkat banding, PT MPL dinyatakan tak bersalah.
Simak juga: Pembalakan Liar di Jambi Tak Pernah Berhenti
"Kalau ditanya perasaan saya terhadap putusan itu (MA). Saya sangat sedih. Aset perusahaan saja tidak sampai Rp1 triliun," kata Ahmad.
ANTARA | MITRA TARIGAN