TEMPO.CO, Yogyakarta - Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO) berkukuh bahwa ambrolnya tebing yang memicu longsor di Kali Code awal pekan ini tak akan diperbaiki pihaknya dan dibiarkan tetap menjadi sebuah bekas longsor alamiah yang bisa dilihat para warga bantaran.
"Kejadian longsor itu akan kami biarkan alami begitu saja, mungkin hanya kami bersihkan, agar tidak ada lagi bangunan pemukiman di atasnya," ujar Kepala BBWSO Tri Bayu Adji Jumat 10 Maret 2017.
Baca juga: Sultan Belum Berencana Relokasi Warga Bantaran Kali Code
Talud sisi timur Code tepatnya di kawasan Kampung Blimbingsari Kelurahan Terban Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta longsor pada Senin 6 Maret 2017. Sedikitnya sembilan keluarga di atas tebing talud ambrol itu harus mengungsi guna menghindari longsor susulan. BBWSO menilai bangunan tepi Kali Code termasuk yang longsor rata-rata sudah mendekati bibir sungai. Bangunan itu pun dipastikan melanggar aturan tentang sempadan sungai.
Bayu menuturkan, meskipun aturan mengenai sempadan sungai terbit belakangan dibanding maraknya pemukiman di bantaran sungai, BBWSO menyatakan bangunan di bibir sungai dalam status quo. “Kami tak akan apa-apakan juga bangunan yang melanggar itu, tapi kami juga tak bisa memperkuat talud penyangga bangunan itu karena dalam aturan pun disebut tak boleh ada bangunan permanen di bibir sungai,” ujarnya.
Justru dengan peristiwa longsor cukup besar kali ini, BBWSO menyarankan warga dibantaran sungai-sungai di Yogya khususnya Code, Winongo dan Gadjah Wong mengikuti program pemerintah daerah. Yakni program mundur, munggah, madhep kali (M3K) . Yang artinya bangunan rumah di bibir sungai harus dimundurkan, dibuat bertingkat, dan menghadap sungai.
Terkait dengan longsor di Code ini, BBWSO masih melakukan penyeledikan siapa pembangun talud yang ambrol itu. “Kewenangan kami menjaga kawasan sungai, kami cermati dampak longsoran itu,” ujarnya.
Aktivis Kali Code Totok Pradopo kepada Tempo menuturkan Kali Code perkembangannya makin kumuh akibat semakin padatnya masyarakat yang menempati kawasan bantaran. Kawasan pemukiman yang padat itu pun kian memakan area sempadan yang ideal bagi kawasan sungai.
“Untuk mendorong masyarakat memundurkan pemukimannya agar sempadan aman jelas sulit tanpa stimulan, butuh rumah tinggal alternatif,” ujar Totok.
Totok pun menyoroti agar rencana pembangunan rumah kampung susun Gemawang yang ada di kawasan bantaran Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman segera terwujud. Rusun Gemawang yang didirikan di lahan seluas sekitar 5.700 meter persegi ini diharapkan segera menjadi semacam area ‘relokasi’ masyarakat bantaran Code yang pemukimannya terlalu makan sempadan sungai.
“Kampung bantaran Code selalu menjadi langganan bencana banjir,” ujarnya.
Totok pun mendorong selain didukung Rusun Gemawang, pemerintah DIY segera memberi akses dan legitimasi bagi forum sungai untuk dapat mewujudkan kampung vertikal sendiri di kawasan bantaran Code. “Dengan model kepemilikan sertifikan bersama untuk menghindari jual beli lahan yang mengancam kawasan sungai,” ujar Totok.
PRIBADI WICAKSONO