TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan ada sejumlah pasal dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 justru akan menganggu lembaga antirasuah ini.
Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut bakal menganggu kewenangan KPK, yaitu soal dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan.
“Kalau pasal-pasal ini diterapkan, kami tidak ada OTT (operasi tangkap tangan),” kata Febri di kantornya, Jumat, 10 Maret 2017.
Baca juga: Ini Langkah KPK Jika Pemerintah Ngotot Revisi PP Nomor 99
Febri menambahkan, selama ini penyadapan dilakukan sebelum proses penyidikan. Dalam revisi Undang-undang KPK, penyadapan baru bisa dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.
Artinya, penyadapan baru bisa dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan yang cukup. Tak hanya itu, revisi Undang-undang juga menghendaki pembentukan dewan pengawas dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Secara substansial, menurut Febri, revisi tersebut akan melemahkan komisi antirasuah dalam menangani kasus korupsi. "Belum lagi materi-materi lain yang dinilai berisiko dan berseberangan dengan independensi KPK secara kelembagaan," ujarnya.
Simak: Pemerintah Belum Revisi UU KPK, Fahri: Tak Jalan Barang Ini
Febri berharap DPR memberikan kepastian soal revisi UU KPK. Musababnya, ada beberapa perbedaan pendapat antaranggota DPR terkait dengan rencana revisi tahun ini. “Jadi ini perlu clear,” kata dia. Selain itu KPK mengharapkan DPR juga memperbaiki dalam dukungan upaya pencegahan korupsi.
Berdasarkan laman DPR RI (http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas), RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk di dalam daftar Program Legislasi Nasional 2015-2019 (Prolegnas), di urutan nomor 37. Namun, revisi terhadap UU KPK itu tidak termasuk dalam 49 Prolegnas Prioritas 2017.
DANANG FIRMANTO