TEMPO.CO, Yogyakarta - Puluhan perempuan di Yogyakarta menari untuk memperingati Hari Perempuan Internasional, yang jatuh setiap 8 Maret. Aksi menari yang diikuti banyak kalangan muda itu diberi nama Perempuan Menggugat untuk Perubahan. Mereka tergabung dalam Jaringan Perempuan Yogyakarta, yang menghimpun banyak organisasi nonpemerintah, gerakan perempuan, ataupun individu.
Di depan Gedung Agung Yogyakarta, mereka membawakan tari yang diadaptasi dari tari berjudul Jampi Gugat karya Kinanti Sekar Rahina. Tari ini mengekspresikan kemarahan perempuan atas situasi perempuan yang makin terpuruk. "Tarian itu menggambarkan perempuan yang bergerak menyuarakan perlawanan dan menyatakan aksi untuk membuat perubahan," kata koordinator aksi dari Jaringan Perempuan Yogyakarta, Anastasia Sukiratnasari, Rabu, 8 Maret 2017.
Peserta aksi menari juga menulis Surat 1.000 Bangau untuk dibuat instalasi oleh seniman Fitri DK. Mereka mengumpulkan 1.000 surat yang berisi pengalaman kekerasan perempuan dan harapan terhadap situasi yang lebih baik.
Naomi Srikandi, seniman sekaligus aktivis yang mengadvokasi kasus Kendeng di Jawa Tengah, turut serta dalam aksi itu. Ia ditunjuk untuk membacakan pernyataan sikap Jaringan Perempuan Yogyakarta.
Hari Perempuan Internasional diperingati untuk merayakan kemerdekaan perempuan. Ini merupakan bentuk penghormatan kepada para perempuan yang telah berjuang mengupayakan banyak perubahan untuk kondisi perempuan yang lebih baik di semua negara di seluruh dunia.
Sayangnya di Indonesia, pemenuhan hak perempuan masih jauh dari yang ideal. Persoalan perempuan yang banyak terjadi tidak mendapat perhatian serius dari negara. Kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat.
Terdapat perubahan praktek dan modus kekerasan, yakni masifnya pemberangusan dan penyerangan hak atas kebebasan orientasi seksual, identitas, dan ekspresi gender. Selain itu, belum ada pemenuhan hak bagi perempuan korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. "Lebih jauh lagi muncul perusakan sumber daya alam di berbagai daerah sehingga mencabut perempuan dari ruang penghidupan," kata Naomi.
Sejumlah megaproyek yang didesain negara untuk mengejar pembangunan ekonomi tidak berkorelasi dengan kesejahteraan. Dari pelosok desa hingga kota, proyek-proyek pembangunan telah meminggirkan dan mencabut perempuan dari alam yang menghidupinya.
Masalah juga banyak bermunculan di Yogyakarta yang memiliki predikat istimewa. Lima tahun belakangan, situasi keberagaman di Yogyakarta semakin memburuk. Indeks kekerasan terus meningkat seiring dengan menurunnya toleransi. Kelompok intoleran yang kerap didukung aparat penegak hukum semakin merajalela. Mereka mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Rifka Annisa, organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu perempuan, mencatat menerima lebih dari 300 laporan kasus kekerasan hingga 2017. Sebanyak 70 persen di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual. Angka itu menunjukkan, setiap hari terdapat satu perempuan yang mengalami kekerasan dan melaporkan kasusnya.
Puluhan demonstran dari Komite Perjuangan Perempuan juga menggelar aksi jalan kaki dari Taman Parkir Abu Bakar Ali menuju Titik Nol Kilometer. Mereka mengenakan kaus putih dengan coretan berwarna pink di muka. Mereka kebanyakan kalangan muda dari berbagai kampus di Yogyakarta. Mereka juga membawa spanduk bertuliskan “Let's Smash Sexism”.
Mereka di antaranya mahasiswa Jurusan Antropologi dan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ada juga Korps HMI, Wati atau Kohati. Selain itu, aktivis lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) turut ikut aksi. "Kami menolak segala bentuk seksisme dan penindasan terhadap perempuan," kata aktivis Komite Perjuangan Perempuan, Ani.
Hadir pula seniman Faidza Marzuki, yang berorasi menyerukan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan terhadap perempuan.
SHINTA MAHARANI