TEMPO.CO, Semarang - Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang, menyebutkan kasus kekerasan terhadap perempuan saat pacaran mendominasi di ibu kota provinsi Jawa Tengah. Dalam kurun dua bula, Januari hingga Februari 2017, LRC-KJHAM mencatat terdapat 58 kasus, tertinggi kasus kekerasan dalam pacaran.
Baca juga: Ini Alasan Hari Perempuan Internasional Perlu Diperingati
“Kekerasan dalam pacaran (KdP) menjadi kasus tertinggi yaitu 19 kasus,” kata Divisi Inventarisir dan dokumentasi, LRC-KJHAM Semarang, Citra Ayu Kurniawati, Selasa 8 Maret 2017.
Ia menjelaskan kasus kekerasan saat pacaran itu mengalahkan kasus kekerasan dalam Rumah Tangga (KdRT) yang mencapai 14 kasus. “Sedangkan perkosaan 12 kasus, Perbudakan Seksual 7 kasus buruh Migran 2 kasus,” kata Citra menambahkan.
Selain itu juga terdapat kasus prostitusi dan pelecehan seksual terhadap perempuan masing-masing dua kasus. Menurut Citra kekerasan seksual masih mendominasi kasus yang ditangani lembaganya selama ini dengan jumlah 72,32 persen atau 64 perempuan, kemudian kekerasan fisik 14,69 persen dan Psikis 9,04 persen.
Citra menyebutkan, tingginya kekerasan saat pacaran di Kota Semarang membuktikan situasi kekerasan yang dialami perempuan sebagai korban tidak sebanding dengan perlindungan hukum yang ada di Indonesia. Menurut dia, perempuan korban kekerasan masih mengalami banyak hambatan dan tantangan dalam mendapatkan hak-haknya termasuk saat proses pacaran.
Baca Juga: Hari Perempuan di Yogya Usung Soal Konflik Tanah
Selain itu yang paling rawan saat ini adalah tidak adanya undang-undang khusus yang melindungi perempuan korban kekerasan seksual. Padahal, menurut dia kekerasan di Kota Semarang yang masih menunjukkan tingginya kekerasan seksual terhadap perempuan membuktikan korban kekerasan seksual membutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat.
Roudlatul Maunah, aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Azasi Manusia Indonesia (PBHI) Jateng, yang biasa menangani kasus kekerasan anak dan perempuan, menyatakan tingginya kasus kekerasan saat pacaran membuktkan masih banyak korban yang belum sadar dirinya dilindungi secara hukum.
“Padahal korban banyak mahasiswi, seharusnya memahami hak karena tingkat pendidikan lebih layak,” kata Roudlatul.
Pendapat yang ia sampaikan itu terkait dengan sejumlah kasus yang ia tangani, terdapat mahasiswi yang selalu dipukuli oleh kekasihnya. Tak jarang korban terganggu melaksanakan kuliah, selain itu juga tertekan sehingga sulit menjalani dunia akademik.
Lihat juga: Cara Tempo Memperingati Hari Perempuan Internasional
“Ironisnya mereka tak berani mengadu dan melapor, karena kasus yang ada yang mengadukan justru rekan sesama perempuan satu kos,” katanya.
EDI FAISOL