TEMPO.CO, Yogyakarta - Perempuan di seluruh dunia memperingati Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) yang jatuh pada 8 Maret setiap tahun. Di Yogyakarta, ratusan aktivis perempuan, mahasiswa, dan pegiat demokrasi akan tumpah ruah mengusung sejumlah isu dalam rangka memperingati tersebut. Di antaranya isu perampasan tanah yang berdampak pada perempuan.
Jaringan Perempuan Yogyakarta, organisasi yang menghimpun berbagai jaringan organisasi perempuan, akan menggelar aksi menari bersama di Titik Nol Kilometer. Mereka mengusung tema “Perempuan Menggugat”. Koordinator aksi Jaringan Perempuan Yogyakarta, Anastasia Sukiratnasari, mengatakan 50 peserta aksi akan menari dan mengajak masyarakat sekitar bergabung. “Kami terinspirasi dari tari Jampi Gugat karya Kinanti Sekar. Ini punya arti perempuan menggugat untuk perubahan kondisi yang lebih baik,” kata Anastasia kepada Tempo, Selasa, 7 Maret 2017.
Tarian itu berarti menggugat maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan dan protes terhadap perampasan tanah yang berdampak pada perempuan. Perempuan menjadi kehilangan pekerjaan ketika tanah mereka digusur untuk kepentingan proyek pemerintah. Misalnya, pembangunan Bandar Udara Internasional di Kabupaten Kulon Progo dan pembangunan proyek pariwisata di Gunungkidul.
Anastasia mengatakan Jaringan Perempuan Yogyakarta melibatkan sejumlah mahasiswa yang datang dari berbagai daerah dan kampus untuk menari. Ada pula aktivis Jaringan Gusdurian dan jaringan lintas agama. Para perempuan juga akan menuliskan pengalaman mereka tentang kekerasan seksual di atas kertas untuk dibikin instalasi. Selain menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, Jaringan Perempuan Yogyakarta juga mengusung perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, buruh gendong, difabel, dan pekerja seks.
Komite Perjuangan Perempuan yang mengorganisasi sejumlah gerakan perempuan dan gerakan prodemokrasi juga akan melakukan aksi jalan kaki dari Taman Parkir Abu Bakar Ali menuju Titik Nol Kilometer. Mereka mengusung sejumlah isu, di antaranya konflik agraria, menolak seksisme, perlindungan terhadap buruh migran, menolak kekerasan terhadap jurnalis perempuan, dan menyuarakan hak-hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Mereka akan tumpah ruah merespons bangkitnya gerakan perempuan secara global seperti pada Women’s March pada 21 Januari 2017. “Gelombang perlawanan penting untuk terus disuarakan,” kata aktivis Komite Perjuangan Perempuan, Tia Setiyani.
Aktivis Lembaga Bantuan Hukum juga akan turun menuntut aparat hukum melindungi hak-hak perempuan, yang menjadi korban kejahatan maupun tersangka. LBH menyoroti banyaknya penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang berhenti di tingkat penyelidikan dan penyidikan. “Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan merupakan dampak dari lemahnya penegakan hukum,” kata aktivis LBH, Emanuel Gobay.
SHINTA MAHARANI