TEMPO.CO, Jakarta - Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Tigor Hutapea, menilai klaim kepemilikan Pulau Pari oleh PT Bumi Pari tidak berdasar. Menurut anggota LBH itu, masyarakat di sana telah menempati wilayah Pulau Pari secara turun-temurun. Bahkan, kata Tigor, warga setempat memiliki bukti penguasaan lahan.
"Kami menduga ada mafia pulau yang memuluskan privatisasi pulau di Kepulauan Seribu. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang tidak pernah menggunakan lahan pulau mendapatkan penguasaan 90 persen wilayah pulau," ujar Tigor dalam keterangan tertulis, Ahad, 5 Maret 2017.
Baca juga: Tolak Privatisasi Pulau Pari, Warga Pasang Bambu Runcing
Perusahaan tersebut mengklaim kepemilikan atas Pulau Pari seluas 90 persen. Meskipun hal tersebut pernah dibantah Bupati Kepulauan Seribu Budi Utomo, warga Pulau Pari justru melihat peta zonasi pulau tersebut lain. Menurut Tigor, peta zonasi tersebut dilihat warga Pulau Pari berada di Kantor Staf Presiden (KSP).
Padahal, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, beleid tersebut tidak membenarkan kepemilikan pulau secara perorangan, termasuk penguasaan sebagian besar lahan pulau kecil. Undang-undang tersebut seharusnya dapat melindungi masyarakat lokal untuk menguasai dan mengelola pulau secara mandiri.
Baca pula: Warga Pari Resah, 90 Persen Pulau Dikuasai Perusahaan Swasta
"Warga akan melaporkan BPN Jakarta Utara ke Ombudsman RI karena menerbitkan sertifikat atas nama PT Bumi pari yang cacat administratif. Kami minta sertifikat ini dibatalkan," ujar Tigor.
Menurut Tigor, sertifikat yang muncul atas nama PT Bumi Pari itu bermasalah dan bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2014, UU Agraria, dan peraturan pendaftaran tanah. Menurut dia, PT Bumi Pari sudah sangat berlebihan mengintimidasi warga. Bahkan perusahaan tersebut menempatkan petugas pengamanan atau security di sana.
Petugas tersebut memantau gerak-gerik masyarakat. Apabila ada yang merevonasi rumahnya, petugas akan datang dan mengancam supaya rumah tersebut dibongkar. Selain itu, beberapa tokoh masyarakat bahkan mengalami intimidasi dalam bentuk somasi agar meninggalkan rumah dan tanah mereka.
"Kami menilai ini bentuk kriminalisasi terhadap warga. Mungkin karena pulau pari jauh dari pusat kota, maka PT Bumi Pari dengan leluasa menjadi penguasa," ujar Tigor.
Menurut Tigor, sampai saat ini belum ada tindakan dari Pemerintah DKI Jakarta atas permasalahan tersebut. Bahkan Tigor menilai pihak kecamatan turut terlibat membiarkan intimidasi kepada warga. Atas dasar itu, warga Pulau Pari menuntut Kementerian ATR/BPN membatalkan seluruh sertifikat PT Bumi Pari karena tidak berdasar hukum.
Kemudian meminta Ombudsman memeriksa BPN Jakarta Utara karena menerbitkan sertifikat yang cacat hukum. Lalu mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melindungi warga Pulau Pari dengan memaksa petugas keamanan PT Bumi Pari meninggalkan pulau itu.
"Kami juga meminta Kapolri menghentikan seluruh tindakan kriminalisasi yang dilakukan kepada warga," ujar Tigor.
LARISSA HUDA