TEMPO.CO, Jakarta - Keputusan Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar menutup lokalisasi Semampir sudah bulat, meskipun bukan pilihan mudah. Apalagi penutupan yang berakhir pada gejolak politik dan sosial itu dilakukan menjelang tahun politik pemilihan kepala daerah 2018 – 2023. Wali kota muda ini mengaku tak tahan mendengar keluh kesah warga Kelurahan Semampir, terutama kaum ibu tentang olok-olok anaknya sebagai putra komplek.
"Bahkan ada pernikahan yang batal lantaran keluarga mempelai laki-laki tahu kalau calon menantunya tinggal di Semampir," kata Mas Abu, sapaan akrab Wali Kota Kediri ini.
Baca juga: Mas Abu Tutup Lokalisasi Semampir (1), Sulit Dipisahkan
Sadar akan besarnya tantangan yang menghadang, langkah pertama yang dilakukan wali kota ini adalah mendatangi Kiai Anwar Manshur, kiai sepuh pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Kepada Kiai Manshur, Mas Abu memohon restu dan dukungan untuk menutup lokalisasi Semampir hingga rata dengan tanah.
Pilihan bergantung kepada ulama dianggap strategis sebagai pemberi dukungan moral, sekaligus komunikator kepada partai politik berbasis agama. Gayung pun bersambut. Keinginan itu disambut positif para ulama dan tokoh agama untuk menggalang konsolidasi dengan aparat keamanan baik TNI maupun Polri. "Bagian hukum pemerintah kota juga kita minta siapkan semua legalitasnya agar tak memiliki celah," tutur Mas Abu.
Skema penawaran kepada para penghuni lokalisasi disiapkan. Selain memberikan uang kerohiman kepada warga, pemerintah juga memfasilitasi pencarian tempat tinggal baru, pengurusan sekolah di tempat tinggal baru bagi anak-anak, hingga pelatihan keterampilan kerja.
Sabtu 10 Desember 2016 dipilih untuk mengakhiri perjalanan panjang lokalisasi Semampir. Nyaris diwarnai bentrok, aparat polisi dan TNI mampu mengendalikan warga yang berupaya melakukan perlawanan. Ratusan bambu runcing dan bom molotov berhasil diamankan sebelum sempat digunakan untuk melawan petugas.
Mas Abu menyebut proses penutupan itu berlangsung panjang dan melelahkan. Selama berhari-hari aparat keamanan dan Satpol PP harus menginap di kantor kelurahan dan posko di sekitar komplek untuk mengamankan situasi. Demikian pula biaya yang harus dikeluarkan Negara dalam proses itu.
Kini kawasan prostitusi yang melegenda itu benar-benar rata dengan tanah. Tak hanya mengusir para penghuninya, seluruh bangunan yang ada di tempat itu diratakan dengan tanah. Sebuah lampu sorot dipasang tepat di tengah reruntuhan batu bata yang menyatu dengan tanah hingga menyerupai tanah lapang.
"Pekerjaan berat sudah kami selesaikan. Ke depan tempat itu akan menjadi ruang terbuka hijau dilengkapi fasilitas publik untuk mengubah wajah lokalisasi," ujar Mas Abu, mengisahkan.
HARI TRI WASONO