TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Women's March pertama kalinya digelar di Indonesia, yakni di taman pandang Istana, Jakarta, Sabtu, 4 Maret 2017. Aksi ini diikuti sekitar 700 orang yang merupakan gabungan dari berbagai organiasasi masyarakat.
Mulai dari perempuan, laki-laki, hingga transgender ikut dalam aksi itu. Mereka memprotes masih banyaknya permasalahan sosial di Indonesia yang berbasis pada gender. Dalam aksi itu, ada delapan tuntutan yang dibacakan oleh massa aksi.
"Kami punya persoalan TKW yang dihukum mati di Arab Saudi, ada perkosaan yang tinggi. Komnas Perempuan mencatat pada tahun lalu saja, ada lebih dari 300 ribu lebih kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia," ujar Caroline Monteiro, Ketua Panitia aksi Women's March Jakarta.
Baca juga:Ratusan Peserta Ikuti Women's March Jakarta
Dalam aksi itu, ada delapan tuntutan yang dibacakan oleh perwakilan massa di depan umum. Mereka menyebutnya sebagai tuntutan Perempuan Indonesia untuk peradaban yang setara.
Pertama mereka menuntut pemerintah membangun kembali masyarakat yang toleran dan menghormati keberagaman. Kedua, mereka meminta pemerintah membangun infrastrukrtur hukum dan kebijakan yang pro keadilan gender.
"Hal ini bisa dilakukan dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Pekerja Rumah Tangga, RUU buruh migran, dan menolam upaya judicial review perubahan KUHP terkait zina, yang jelas merugikan perempuan," kata Olin, sapaan akrab Caroline.
Selanjutnya mereka meminta pemerintah agar lebih aktif dan komperhensif dalam membuat dan mengalokasikan dana untuk program terkait perempuan.
Keempat, mereka meminta pemerintah dan mengajak masyarakat untuk ikut perhatian pada isu lingkungan hidup, perubahan iklim, dan kaitannya dengan hak-hak pekerja perempuan. Mereka merasa alih fungsi lahan dan konflik terkait eksploitasi sumber daya alam, meminggirkan perempuan untuk mengakses dan mengelola SDA.
Selanjutnya mereka menuntut pemerintah agar membangun kebijakan dan pelayanan publik yang pro pada perempuan, pro-individu transgender, dan pro warga disabilitas.
Keenam, mereka menununtut pemerintah dan mengajak masyarakat agar memenuhi HAM dan hak seksualitas bagi individu dan kelompok dengan orientasi seksual berbeda. "Semua tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap individu dengan orientasi seksual dan identitas gender yang berebeda, merupakan pelanggaran konsistusi," kata Olin.
Selanjutnya, mereka memeinta agar partai politik dan pejabat negara memperhatikan hak politik perempuan. Hal ini, menurut mereka, bisa dilakukan dengan mendukung perubahan dalam revisi UU penyelenggaraan pemilu dan RUU Partai Politik dengan mendukung keterwakilan perempuan minimal 30 persen di setiap daerah pilihan (dapil).
Terakhir, mereka mengajak masyarakat agar lebih peduli pada isu perempuan dan dampak kebijakan internasional dari seluruh dunia. "Kita harus menunjukan solidaritas dan keberpihakan pada gerakan perlawanan atas pelanggaran yang terjadi. Baik soal isu fasisme, intoleransi, hingga sentimen publik yang anti-imigran," kata Olin.
EGI ADYATAMA
Simak: Dititipi TKI, Raja Salman Sudah Anggap WNI Seperti Warganya