TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme Timika, Papua meminta bantuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memfasilitasi mediasi terkait perundingan kontrak pertambangan antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia.
"Kami merasa bahwa kami korban permanen antara perusahaan dan pemerintah. Sehingga kami datang ke Komnas HAM meminta bantuan untuk memfasilitasi mediasi supaya kami bisa terlibat perundingan kontrak yang disepakati pemerintah dan Freeport," kata Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme Timika Odizeus Beanal, di kantor Komnas HAM, Jumat, 3 Maret 2017.
Odi mengatakan, masyarakat adat Amungme yang merupakan pemilik dari gunung emas yang menjadi tempat penambangan oleh PT Freeport, semestinya dilibatkan dalam kesepakatan kontrak. Ia menuturkan, pihaknya selama ini tidak pernah mengetahui isi kontrak kerjasama pemerintah dengan Freeport, sejak perusahaan asal Amerika Serikat itu berada di Timika, Papua, selama hampir 50 tahun.
Baca: Kronologi Kontrak dan Eksploitasi Tambang Freeport di Papua
Selain itu, Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa) juga prihatin atas kondisi yang terjadi akibat kekisruhan antara pemerintah dengan Freeport. Apalagi, kata Odi, pasca diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 memberikan dampak cukup signifikan terhadap perekonomian Timika. "Sehingga kami meminta pemerintah mempertimbangkan kebijakan dan tidak merugikan masyarakat umum," katanya.
Kepala Bagian Adat dan Budaya Lemasa Neles Kum mengatakan, kedatangan ke Komnas HAM merupakan suatu peluang agar masyarakat adatnya turut terlibat dan diakui sebagai pemilik wilayah. "Kami punya keinginan besar dalam keputusan-keputusan pemerintah perlu keterlibatan lembaga adat. Kok yang punya barang diam, yang ribut pemerintah dan Freeport," ujar Neles.
John Jose, Dewan Adat Wilayah VII Me-pago, menilai pemerintah terlalu sibuk menaikan pajak dan nilai investasi saham yang diterima. Sedangkan Freeport juga bersikeras dengan perjanjian yang diatur dalam Kontrak Karya 2 yang ditandatangani pada 1991. Perseteruan keduanya, kata John, sama sekali tak menyinggung hak masyarakat adat Amungme dan sekitarnya, yang telah diamanatkan melalui undang-undang.
Baca: Alokasi Saham Divestasi Freeport untuk Pemda Papua 20 Persen
"Negara dan Freeport tidak bisa begitu saja acuh tak acuh dari hak masyarakat. Kami datang ke Komnas HAM bukan meminta bahwa kami minta saham seperti papa minta saham," kata dia.
Ketua Komnas HAM Nur Cholis menyatakan kesediannya menjadi moderator dalam mediasi. Sebab, ia menyayangkan jika Freeport benar-benar menggugat pemerintah ke Pengadilan Arbitrase internasional. Menurut dia, hal itu akan memakan waktu lama dan putusannya bersifat judgement.
"Proses mediasi menghemat biaya, efisien, dan terukur. Keputusan bukan pada moderator tapi kesepakatan pihak. Menurut saya layak proses mediasi kami coba," ujarnya.
FRISKI RIANA