TEMPO.CO, Cirebon - PT Pabrik Gula Rajawali II mengembangkan peternakan ayam terintegrasi di lahan seluas 25 hektare di bekas PG Gempol, Kabupaten Cirebon. Untuk tahap pertama, sasaran produksi dari peternakan ayam terintegrasi ini memproduksi ayam pedaging 450 ribu ekor per bulan dan telur 12 hingga 14 ton per bulan. “Selanjutnya akan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan bisnis,” kata Direktur Utama PT PG Rajawali II, Audry Harris Jolly Lapian di Cirebon, Rabu, 1 Maret 2017.
Nilai investasi peternakan anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia ini sebesar Rp500 miliar dan beroperasi penuh pada 2020. Peternakan ini akan mengembangkan indukan, ayam bakalan, pakan ternak hingga pengembangan riset. “Peternakan ayam itu menggunakan teknologi modern.” Di antaranya menggunakan teknologi close house, sehingga tidak akan menimbulkan polusi, termasuk polusi berupa bau.
Baca:
Pemerintah Akan Atur Distribusi Ayam Ras
Pemerintah Perkenalkan Ayam Varietas Baru
Hari ini, Audry dan Direktur Utama PT Berdikari United Livestok (PT BULS) AS Hasbi Al Islahi menandatangani perjanjian pemegang saham peternakan itu di kantor PT PG Rajawali II Cirebon. Penandatanganan itu merupakan kelanjutan dari kesepakatan kedua belah pihak.
Saat ini peternakan ayam dikuasai oleh sejumlah perusahaan swasta besar. Dengan masuknya BUMN pada usaha peternakan ayam terintegrasi, diharapkan bisa turut mendukung kecukupan protein hewani nasional. “Sekalipun tidak besar, tapi kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi?” kata Audry.
Baca juga:
Pohon Sukarno, Penanda Hubungan Baik Indonesia dan Arab Saud
Mengenal Pangeran yang Dibawa Raja Salman ke Indonesia
Peternakan ayam ini kelanjutan dari usaha peternakan sapi yang sebelumnya sudah dimiliki di PT PG Rajawali II di PG Jatitujuh, Kabupaten Majalengka. “Sekitar Mei atau Juni, kami akan mengimpor lima ribu ekor sapi dari Australia,” kata Hasbi. Dari jumlah itu sebanyak 4 ribu ekor merupakan sapi bakalan dan 1000 ekor breeding. Dengan nilai investasi Rp100 miliar, diharapkan pada tahun kedua jumlah sapi bisa berkembang hingga menjadi 30 ribu ekor.
Dijelaskan Hasbi, konsumsi sapi dalam negeri mencapai sekitar 700 ribu ekor per tahun. Pada 2012, impor sapi bakalan juga mencapai 700 ribu ekor. “ini berarti kita sangat tergantung dengan impor,” kata Hasbi. Sehingga ketergantungan itu perlu dipangkas melalui pembibitan yang dilakukan di dalam negeri.
“Perusahaan swasta tidak tertarik pada pembibitan sapi karena mahalnya investasi yang harus dikeluarkan,” kata Hasbi. Dengan begitu, BUMN harus bisa masuk. Sekalipun kecil, namun perlahan bisa mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap sapi impor.
IVANSYAH