INFO NASIONAL - Era Internet of Everything (IoE) memberikan tantangan baru bagi pelaku bisnis, tidak saja dalam lingkup korporat, tapi juga entrepreneur. Tantangan ini muncul karena konektivitas pelaku bisnis dengan Internet telah melahirkan berbagai model bisnis baru, salah satunya bisnis berbasis aplikasi. Jika pada tahun sebelumnya model bisnis seperti ini tidak pernah terbayangkan, tapi kini menjadi kenyataan.
Di satu sisi, kemunculan model bisnis baru ini menghadirkan ancaman dan bisa menjadi aktivitas bisnis yang mengganggu (disruptive business) bagi bisnis yang sudah mapan. Namun di sisi lain bisa mendatangkan peluang. Dihadapkan pada kondisi ini, Tubagus Hanafi Soeriaatmadja, MBA, M.Si, Head of Program MM Executive in Strategic Management BINUS BUSINESS SCHOOL, berpandangan para pelaku bisnis harus melakukan inovasi.
“Seperti filosofi dalam permainan sepak bola yang mengatakan pertahanan terbaik adalah menyerang, inovasi merupakan faktor kunci agar bisnis tidak hanya survive namun dapat juga menjadi pemenang dalam platform bisnis berbasis internet ini,” katanya.
Untuk membangun inovasi berkelanjutan, sebuah organisasi harus membuat kultur inovatif. Namun Hanafi mengingatkan kultur inovatif tidak bisa dipaksakan muncul dalam sebuah perusahaan karena hal itu sangat tergantung budaya perusahaan. “Jika perusahaannya memiliki budaya perusahaan yang top-down, maka strategi membangun inovasi adalah dengan membuat interupsi inovasi di mana top management membuat workshop tahunan untuk menghasilkan inovasi yang kemudian secara top-down diimplementasikan. Sebaliknya, jika budaya perusahaan di suatu perusahaan bersifat bottom-up, ide-ide inovatif dari bawah akan dihargai dan sangat mungkin digunakan perusahaan untuk menjawab persoalan yang terjadi karena itulah inti dari inovasi,” ujarnya.
Sebagai institusi pendidikan yang concern di bidang bisnis, Hanafi mengatakan BINUS BUSINESS SCHOOL melalui program Magister Management (MM) Executive senantiasa mendorong tumbuhnya kultur inovatif dan kreatif dalam diri mahasiswanya yang menjadi eksekutif di masing-masing perusahaan. “Kami melihat kultur inovatif dan kreatif ini perlu ditumbuhkan. Sebab, pada 2020, kreativitas, berpikir analitikal, dan kemampuan mengatasi persoalan yang kompleks, menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dan sudah menjadi tuntutan mendasar dalam dunia bisnis,” ucapnya.
Untuk menumbuhkan kultur tersebut, Hanafi menuturkan BINUS BUSINESS SCHOOL menerapkan metode pembelajaran bisnis yang unik, yakni belajar bisnis berdasarkan pengalaman (experience learning). Metode tersebut diajarkan kepada mahasiswa dengan memadukan tiga pendekatan, yaitu belajar dari kebijakan bisnis masa lalu, belajar dari bisnis saat ini yang sedang happening, dan belajar bisnis di masa depan. Belajar dari masa lalu dapat dipelajari dari kasus bisnis dari sekolah bisnis top di luar negeri, seperti Harvard, Wharton, MIT Sloan, INSEAD, dan Stanford, serta kasus-kasus bisnis di Indonesia. Belajar dari masa sekarang dan masa depan harus dilakukan dengan berinteraksi dan berkontribusi dalam memecahkan masalah-masalah nyata perusahaan.
“Seorang pemimpin yang inovatif harus memiliki kemampuan untuk mempelajari tiga metode pembelajaran tersebut dan itu yang menjadi fokus kami melalui program MM Executive in Strategic Management,” ujarnya.
Hanafi mengatakan proses belajar di BINUS BUSINESS SCHOOL berlangsung melalui perkuliahan tatap muka setiap hari Sabtu dan online berbahasa Inggris selama 18 bulan atau lebih cepat dibanding sekolah bisnis yang lain. “Meski waktu kuliah lebih cepat, kami tetap memberikan pengajaran yang berkualitas dengan menginvestasikan fasilitator yang ahli di bidang inovasi dan memiliki pengalaman di posisi manajemen puncak (top management) perusahaan. Itu kelebihan kami,” tuturnya. Kelebihan lainnya, program MM Executive telah terakreditasi dengan nilai A dan terafiliasi dengan sekolah bisnis terkemuka di dunia, Harvard Business School. (*)