TEMPO.CO, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia menganggap proses penegakan hukum tidak efektif untuk menghilangkan maraknya kasus ujaran kebencian. Alasannya, meski selama ini penegak hukum telah berupaya menindak para pelaku, jumlah akun-akun palsu dan pelaku ujaran kebencian terus menanjak tinggi. “Diblokir satu, muncul puluhan, bahkan ratusan akun palsu lain,” kata Direktur Cyber Crime Mabes Polri Komisaris Besar Fadil Imran di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin, 17 Februari 2017.
Fadil mengatakan proses penegakan hukum untuk kasus ujaran kebencian membutuhkan biaya cukup mahal. Di antaranya pembelian teknologi informatika untuk menelusuri akun-akun palsu atau situs Internet penyebar kebencian, biaya konsultasi dengan para ahli, serta biaya riset lain. Keterbatasan sumber daya manusia menjadi kendala terbesar.
Baca juga:
Jokowi Kenakan Baju Adat Ambon Maluku, Ini Artinya
Selidiki Penghina Jokowi di Medsos, Polisi Gandeng Facebook
Dari 18 laporan ujaran kebencian yang ditangani polisi, hanya satu kasus yang berhasil diselesaikan pada 2016. Laporan tersebut, kata dia, mayoritas hanya kesalahpahaman sepele. “Berawal dari ngerumpi, terus salah paham,” ujarnya.
Karena itu, Fadil berpendapat ujaran kebencian seharusnya diselesaikan dengan sosialisasi yang intensif dengan menggandeng sejumlah komunitas dan lembaga terkait. Sosialisasi berisi tentang arti demokrasi, toleransi, serta jerat hukum bagi masyarakat yang menyebarkan ujaran kebencian. “Sampai kapan kita menghabiskan uang negara hanya mengurusi persoalan seperti ini, tapi ketika mencoba diberantas, justru muncul lebih banyak lagi.” tutur Fadil.
Pakar hukum, Todung Mulya Lubis, mengakui ujaran kebencian memiliki kerawanan penafsiran yang berbeda. Menurut dia, penafsiran harus melibatkan pendapat ahli terkait dengan penyertaan konteks pernyataan dengan kejadian sesungguhnya. “Regulasi menjadi kata kunci. Saya mendorong klausulnya dijelaskan secara detail,” kata Todung.
Ia berpendapat ujaran kebencian harus membuktikan adanya niat jahat. “Bisa niat jahat, bisa kecerobohan luar biasa. Dua hal ini saling melengkapi,” ujarnya. Todung mewanti-wanti para penegak hukum untuk cermat dan mampu membedakan antara ujaran yang bermaksud jahat dan memberikan kritik. “Bedakan niat jahat dengan mengkritik.”
Baca juga:
Bom Bandung, Yayat Cahdiyat Si Penjual Mainan dan Bandros
Wanita Ini Gagal Bunuh Diri Gara-gara Kegemukan
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menyebutkan ada dua isu besar yang rawan dijadikan bahan ujaran kebencian, yakni terorisme dan intoleransi. Menurut putri sulung Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu, Indonesia sedang dalam tahap krisis intoleransi. “Kita semua masih gagal merespons kondisi ini,” katanya.
Adapun bentuk-bentuk intoleransi tersebut, antara lain Syiah-Sunni, anti-Syiah, anti-LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), anti-Kristen, serta anti-komunisme. Dia menyarankan pemerintah gencar memberikan pengertian ke masyarakat tentang arti demokrasi dan pentingnya perbedaan. “Semakin dia percaya dengan nilai demokratis, semakin rendah dia terlibat aksi intoleran,” ucapnya.
DEWI SUCI RAHAYU