TEMPO.CO, Jakarta -Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Inspektur Jenderal Basaria Panjaitan melontarkan pertanyaan sederhana ke para mahasiswa. Tapi jawaban sejumlah mahasiswa itu justru mengundang tawa dan senyuman peserta seminar di Yogyakarta.
“Siapa mahasiswa di sini yang sudah punya SIM (surat izin mengemudi)?” kata Basaria, polwan yang terpilih menjadi pimpinan KPK itu saat membuka seminar nasional bertema Membangun Gerakan Anti Korupsi di Kampus di Auditorium Kampus Thomas Aquinas Universitas Atmajaya Yogyakarta, Senin, 27 Februari 2017. Para mahasiswa itu segera mengacungkan jari telunjuk.
Basaria mengajukan pertanyaan berikutnya. Apakah mahasiswa mendapatkan SIM melalui ujian ataukah membayar sejumlah uang agar dimudahkan lulus ujian SIM? Jawaban mayoritas mahasiswa rupanya mengundang tawa, bahkan Basaria dibuat tersenyum. Mereka serempak menjawab, “Bayaaaaaaar!”
Basaria mengingatkan, membayar sejumlah uang untuk mendapatkan SIM dengan mudah dan cepat tanpa prosedur sesuai peraturan merupakan penyuapan. Menyuap masuk ke dalam 33 kategori modus korupsi. Begitu pula menyontek saat ujian di kampus yang digolongkan sebagai perilaku koruptif. “Karena korupsi bermula dari diri sendiri,” kata Basaria. “Selama ada niat dan kesempatan.”
Basaria mengingatkan perilaku korup bisa dipangkas melalui pendekatan keluarga, termasuk ibu. Ibu bisa berperan dalam mencegah tindakan korup sejak dini. “Ibu bisa memberi contoh bertindak jujur dalam keluarga. Bisa mengingatkan suaminya yang bekerja di pemerintahan untuk menerima gaji yang halal,” kata Basaria.
Perempuan Yogyakarta, kata Basaria, berdasarkan riset KPK pada tahun 2014, masih tergolong kurang dalam pendidikan pencegahan korupsi. Dari data KPK itu hanya empat persen perempuan yang mengajarkan kejujuran kepada anak-anaknya. “Padahal kalau semua perempuan itu berani menyatakan tidak pada korupsi, bisa mengurangi tindakan korup di negeri ini,” kata Basaria yang berencana memberikan pelatihan 2-3 hari.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta Anny Retnowati meminta keterlibatan kampus dalam gerakan antikorupsi. Gerakan itu bisa dengan melibatkan peran aktif mahasiswa. “Kalau ada sinyalemen perilaku korup, mahasiswa melaporkan. Cari info benar tidaknya. Kampus tak boleh diam,” kata Anny.
Peneliti Pusat Anti Korupsi UGM Zaenur Rochman mencontohkan pendidikan karakter yang diutamakan diterapkan terhadap anak-anak sejak usia dini hingga duduk di bangku sekolah dasar di Jepang dan Korea. Bukan pendidikan kognitif. Pendidikan karakter yang dimaksud seperti jujur, displin, berani bertanggung jawab. “Bangsa Indonesia tak punya budaya malu. Bahkan feodalisme dipelihara untuk memberikan upeti kepada penguasa agar diberi kemudahan,” kata Zaenur.
PITO AGUSTIN RUDIANA