TEMPO.CO, Pekanbaru - Balai Taman Nasional Tesso Nilo bakal mengembangkan ekowisata pada 23.000 hektare (ha) hutan alam yang tersisa di kawasan itu. Hal itu dilakukan sebagai upaya penyelamatan hutan konservasi dari maraknya perambahan liar.
"Saat ini sedang kami susun grand desainnya," kata Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Supartono, kepada Tempo, Senin, 27 Februari 2017.
Berita lain: UNICEF Minta Indonesia Hapus Pernikahan Usia Anak
Supartono mengatakan, dalam pengembangan wisata ini Balai Taman Nasional telah menggandeng tim ahli dari Universitas Gajah Mada untuk penyusunan strategi wisata serta meminta pendapat pelaku wisata terkait potensi yang bakal dikembangkan. "Wisata apa yang cocok untuk Tesso Nilo itu yang sedang kami rancang," ucapnya.
Namun yang jelas, kata dia, potensi yang tampak saat ini yakni ekowisata. Hutan tropis yang tersisa masih terbilang baik sebagai habitat satwa liar seperti gajah, harimau, tapir dan beruang. Aliran Sungai Nilo menambah wisata alam jadi lebih semarak.
"Safari gajah dan edukasi wisata sudah berjalan, pengembangan wisata berbasis masyarakat," ucapnya.
Taman Nasional Tesso Nilo yang luasnya 81.793 ha berada di tiga kabupaten: Pelalawan, Kampar, dan Indragiri Hulu. Penghuninya berbagai jenis satwa langka yang saat ini berada dalam ancaman karena aktivitas perambahan dan alih fungsi hutan menajdi kebun sawit.
Secara ekosistem TNTN dikelilingi hutan produksi, dan di daerah itu masih terjadi persoalan perambahan, kebakaran lahan, pembukaan lahan perkebunan sawit dan permukiman. Luas hutan alam di kawasan Tesso Nilo, Riau, tinggal tersisa 23 ribu hektare. Lahan itu terus menyusut akibat ulah perambahan ilegal.
Di kawasan Tesso Nilo terdapat 13 hutan tanam industri milik perusahaan seluas 750.000 hektare. Sembilan perusahaan mengklaim lahan dan 11 Hak Guna Usaha perusahaan seluas 70.193, 15.808 atau 23 persen. Bahkan dalam kawasan hutan terdapat pemukiman yang terdiri dari 23 desa, dan 4 desa berbatasan langsung.
RIYAN NOFITRA