TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan perusahaan yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana akan didenda. Sanksinya telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Selain hukuman denda, perusahaan bisa ditutup lantaran jika terbukti melakukan kejahatan. “Penutupan perusahaan bisa dilakukan apabila melakukan tindak pidana berat,” kata Suhadi, di Jakarta, Selasa, 21 Februari 2017.
Baca:
KPK: Perma Pidana Korporasi Makin Menjamin...
Ini Alasan Korporasi Sering Lolos dari Jerat Pidana Korupsi
Pasal 25 Perma itu menyatakan jika terhukum korporasi tidak membayar denda maka harta korporasi dapat disita dan dilelang untuk membayar denda. Sedangkan Pasal 28 menyatakan pidana denda sebagai pidana pokok yang dijatuhkan.
Penuntut umum bisa menentukan subjek hukum yang bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana dengan terlebih dahulu menjerat orang-orang yang menyuap. “Banyak korporasi yang berbentuk perusahaan lain yang berfungsi sebagai perusahaan boneka.” Sedangkan dalangnya adalah pihak lain yang berada di luar perusahaan itu.
Baca juga:
Diduga Menistakan Agama, Rais Aam PBNU: Ahok Tak Perlu Tabayun
Perempuan Ini Histeris Terjebak Banjir di Exit Jalan Tol Cikunir
Menurut Suhadi, yang perlu dibidik terlebih dulu adalah pemegang kendali korporasi sehingga muncul perbuatan tindak pidana. Pelaku tindak pidananya belum tentu pengurus seperti direksi atau pengurus lain. Namun ada kemungkinan orang yang dilimpahi wewenang oleh pihak tertentu yang bisa dijerat.
Suhadi mengatakan salah satu pengguna dari peraturan itu adalah KPK. Sehingga Perma itu dikeluarkan untuk menjadi petunjuk lebih jelas mengenai subjek hukum berupa korporasi. Ia mengakui selama ini korporasi jarang sekali bisa dibawa ke ranah pidana. Padahal dalam tindakan pidana, mereka mengambil sejumlah keuntungan dari perbuatan pribadi.
DANANG FIRMANTO