TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar ilmu administrasi pemerintahan daerah dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka, Hanif Nurcholis, menyarankan revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut dia, undang-undang tersebut bersifat sentralistik.
"Saya menyarankan direvisi, karena itu kental sekali dengan sentralisasi. Di situ kentara menjadikan provinsi kabupaten/kota sebagai dual function," kata Hanif di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Selasa, 21 Februari 2017.
Ia menjelaskan, kewenangan pemerintahan daerah masih terbatas. Sebab, pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan mengelola sumber daya daerahnya sendiri. "Yang menguasai resource dan kebijakan itu pemerintah pusat," ucapnya. Menurut dia, inilah penyebab banyak daerah masih bergantung pada pemerintah pusat.
Ia menilai, jika kebijakan otonomi daerah mengalami kemandekan, rakyat akan menjadi korban. Pemerintah pusat, ujar dia, perlu memperkuat daerah otonomi dengan memperkuat basis kegiatan riil di daerah.
"Kalau sekarang tidak ada uang, bagaimana membuat layanan publik menjadi baik," tuturnya merujuk bergantungnya pemerintah daerah pada keuangan pusat.
Baca Juga:
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Dody Ryadmadji menyarankan model otonomi daerah kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Menurut dia, pemerintah pusat mengintensifkan desentralisasi dengan wadah yang efektif. "Di Inggris, board atau badan lebih berjalan daripada dinas. Badan yang menjalankan program," katanya.
Ia menyarankan persoalan otonomi daerah dikembalikan kepada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Menurut dia, undang-undang ini tinggal perlu penyempurnaan. "Pemerintahan daerah tidak lagi ditarik ke pusat, tapi bagaimana mereka menjalankan pemerintahan yang bertanggung jawab," ujarnya.
ARKHELAUS W.