TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengimbau aparat penegak hukum berani menjadikan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Sebab, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016, perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karyawan atau orang lain yang berhubungan juga bisa menyeret perusahaan.
“Korporasi bisa pasif menerima atau aktif memberi dalam suap, misalnya. Walaupun tidak terlihat mengeluarkan uang, korporasi itu sudah tercatat,” ucap Suhadi di Jakarta, Selasa, 21 Februari 2017.
Baca juga: KPK: Perma Pidana Korporasi Makin Menjamin Penegakan Hukum
Suhadi mencontohkan dugaan suap terhadap seorang direktur. Ia mengatakan uang suap itu tidak langsung diterima pejabat yang bersangkutan, tapi dimasukkan ke rekening perusahaan. Ia menilai contoh itulah yang bisa dikategorikan masuk tindak pidana korporasi.
Suhadi berujar, dari contoh itu, ada beberapa pihak yang bisa dikenai hukuman, bisa korporasi, pengurusnya, atau korporasi bersama-sama dengan pengurus. “Sehingga pertanggungjawaban pidana sudah jelas,” ujarnya.
Bahkan, menurut Suhadi, sebuah perusahaan holding juga bisa dikenai tindak pidana. Itu bergantung pada peran masing-masing perusahaan dalam keterlibatannya dalam tindak pidana.
Pakar hukum kriminal Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menuturkan aparat penegak hukum juga harus ekstrahati-hati dalam menjerat korporasi. Ia menilai harus ada unsur kesalahan yang diyakini hakim. Sebab, apabila menghukum tanpa ada kesalahan, itu justru berpotensi mengganggu sektor ekonomi.
Menurut Agustinus, aparat penegak hukum juga bisa membuktikan kesalahan korporasi, misalnya dengan pendekatan derivatif atau melihat notulensi-notulensi rapat untuk memutuskan pembakaran hutan bagi perusahaan perkebunan.
DANANG FIRMANTO