TEMPO.CO, Jakarta – Guru besar bidang ilmu administrasi pemerintahan daerah Hanif Nurcholis menilai keputusan Kementerian Dalam Negeri tidak memberhentikan sementara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak tepat. “Menurut saya, kurang tepat karena regulasi sudah secara eksplisit ketika pasal yang dikenakan bisa dikenakan kepada siapa pun,” kata Hanif di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian, Jakarta, Selasa, 21 Februari 2017.
Hanif menyampaikannya sehubungan dengan status Ahok sebagai terdakwa penistaan agama. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kata Hanif, telah mengatur masalah pemberhentian kepala daerah yang berstatus terdakwa. “Meskipun ada dua pasal, ancaman 5 tahun dan 4 tahun, tidak usah dibolak-balik.”
Baca:
Ini Alasan Anggota DPD Ramai-ramai Menolak Pengaktifan Ahok
Terima Fatwa Mahkamah Agung, Menteri Tjahjo: Surat MA Itu Rahasia...
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan pemberhentian sementara Basuki harus menunggu tuntutan dari jaksa. Alasannya, Ahok didakwa dengan dua pasal, yaitu Pasal 156 dan Pasal 156-a KUHP tentang Penodaan Agama.
Dalam KUHP, pelanggar Pasal 156 diancam hukuman paling lama 4 tahun penjara, sedangkan Pasal 156-a memberikan ancaman penjara maksimal lima tahun. “Kalau logika saya ketika sudah didakwa itu sudah bisa dikenakan,” ujar Hanif.
Tjahjo mengirim permohonan tafsir atas pasal itu ke Mahkamah Agung. Namun Ketua MA Hatta Ali menyatakan menyerahkan kembali tafsir MA ke Kementerian. Sebabnya, persidangan Basuki masih terus berlangsung dan telah ada gugatan yang berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara.
ARKHELAUS W.