Awal September 2016, terdakwa memasukkan surat penyataan harta (SPH) sebagai salah syarat tax amnesty. Namun ditolak karena PT EKP mempunyai tunggakan pajak untuk Desember 2014 sebesar Rp 52,3 miliar, dan untuk Desember 2015 sebesar Rp 26,4 miliar.
Selanjutnya pada 7 September 2016, Johnny Sirait juga menginstruksikan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan atas nama PT EKP tahun pajak 2012-2014 kepada Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus, karena adanya dugaan ekspor yang tidak benar dan penyalahgunaan faktur fiktif.
Masalah pajak PT EKP tak berhenti di situ. Pada 20 September 2016, Kepala KPP PMA Enam Soniman Budi Raharjo mengeluarkan surat pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) karena adanya dugaan PT EKP tidak mempergunakan PKP sesuai ketentuan. Sehingga ada indikasi restitusi yang diajukan tidak sebagaimana mestinya.
Lihat pula: Kasus Suap Pajak, KPK Dalami Kewenangan Handang
Karena permasalahan pajak yang rumit, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus Muhammad Haniv menyarankan terdakwa menemui Handang Soekarno untuk meminta bantuan. Selanjutnya, terdakwa meminta bantuan Arif Budi Sulystio dengan mengirimkan dokumen-dokumen pajaknya melalui pesan Whats App.
Pada 4 Oktober 2016, atas arahan Dirjen Pajak Ken Dwijugeasteadi, Muhammad Haniv memerintahkan Johnny Sirait agar membatalkan surat pencabutan pengukuhan PKP PT EKP. Keesokan harinya KPP PMA Enam pun menindaklanjuti permintaan itu dengan mengeluarkan surat pembatalan pencabutan pengukuhan PKP PT EKP.
Sehari setelah surat pembatalan keluar, terdakwa bersama Siswanto bertemu dengan Handang di lantai 13 Gedung Utama Kantor Pusat Dirjen Pajak. Pada pertemuan itu, terdakwa meminta Handang membantu menyelesaikan masalah pajak PT EKP lainnya. Atas permintaan itu, Handang menyarankan agar terdakwa menyelesaikan surat tagihan pajak lebih dulu.
Baca pula: Direkturnya Ditahan KPK, Kantor PT EK Prima Tutup
Besoknya, Handang mengabarkan bahwa permintaan pembatalan surat tagihan pajak yang diajukan terdakwa pada 21 September 2016 akan diproses. Handang pun berjanji untuk membantu dan akan menemui pihak-pihak terkait di Kanwil DJP Jakarta Khusus.
Pada 20 Oktober 2016 malam, terdakwa bersama Siswanto bertemu Handang di Nippon Khan Hotel Sultan Jakarta. Dalam pertemuan itu terdakwa menjanjikan uang 10 persen dari total nilai STP PPN senilai Rp 52,3 miliar. Setelah negosiasi, akhirnya disepakati uang yang akan diberikan Rp 6 miliar. Uang tersebut sudah termasuk upah untuk Haniv.
Beberapa hari setelah pertemuan, Haniv menerbitkan pembatalan Surat Tagihan Pajak PT EKP untuk masa pajak 2014 dan 2015. Handang kemudian menagih uang yang dijanjikan terdakwa.
Pada 18 November, terdakwa menyerahkan uang Rp 2 miliar melalui Dinesh Kumar Raghuvaran, Kepala Cabang Utama PT EKP Surabaya, kepada Yustinus Heri Sulistyo, pegawai pajak Kanwil DJP Jawa Timur I, sekaligus orang kepercayaan Handang. Karena uang tersebut dikemas dalam dua koper besar, Handang meminta terdakwa menukarnya dalam pecahan dollar Amerika.
Lihat juga: KPK Resmi Tahan Kasubdit Ditjen Pajak
Selanjutnya pada 21 November, terdakwa menukar uang tersebut di BENS Money Changer, Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Kemudian Yuli Kanestren mengambil uang yang sudah ditukar menjadi US$ 148.500 dan diserahkan kepada Ramila, istri terdakwa.
Malam harinya, Handang mendatangi rumah terdakwa di Springhill Golf Residence D7 Blok BVH B3 Kemayoran untuk mengambil uang. Sesaat setelah uang berpindah tangan, keduanya dicokok penyidik KPK.
Atas perbuatannya, Rajamohan didakwa melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
MAYA AYU PUSPITASARI