Selama di Semarang Marco tidak pernah menjadi anggota Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) sebagai embrio organisasi partai komunis Indonesia (PKI). Ia melontarkan suara yang militan, tetapi militansinya itu tidak datang dari keyakinan ideologis sebagai seorang komunis melainkan dari keinginannya mengatakan apa yang mau katakan, tanpa menyembunyikan sesuatu dalam pikiranya.
“Ia seorang satria dan terus mencoba mempertahankanya, dalam upaya ini ia dekat dengan Semaoen sedekat dengan Soewardi, orang yang barangkali paling mengerti dirinya,” kata Takhashi Siarishi, peneliti radikalisasi rakyat Jawa di era kolonial.
Bukti ide dan gerakan Marco tak terait dengan komunis bisa dilihat dari tulisan Takhashi Siarishi yang menyebutkan pertentangan Sneevlit di Moskow sebagai wakil dari komintern (Komunis Internasional) berbeda perspektif antara kelompok pergerakan yang tergabung dalam SI dan menimbulkan perpecahan serius.
Indikasi perpecahan ini mulai kelihatan sejak konggres kedua central SI di Jakarta 27 Oktober 1917, yaitu adanya perbedan tentang upaya perubahan masyarakat Hindia yang diwakili oleh Semaoen dari SI revolusioner dan Abdoel Moeis SI garis Islam.
Kondisi ini terus berlangsung bersamaan kebebasan Marco dari penjara bulan Oktober 1920,
saat konggres ketiga SI di Yogyakarta antara Darsono dengan Tjokro Aminoto.
Oleh karena kecemasan atas konflik yang terjadi, Marco meninggalkan Semarang bergabung dengan faksi CSI Yogyakarta, dan tampil sebagai wakil sekretaris CSI dan dan redaktur organ CSI yang baru,
Pembrita CSI pada Desember 1920. “Pada saat itu Mas Marco dengan kelompok pemimpin CSI menyerang kaum komunis, bersama Facrudin ia menyebarkan brosur yang berjudul Pan Islamisme dan mengkritik komunis karena telah mengahancurkan Pergerakan Persatoan Islam,” kata Soe Hog Gie dalam buku Di Bawah Lentera Merah.
Namun seiring dengan perjalananya dalam CSI di Yogyakarta banyak orang yang tidak seiring dengan gagasanya akhirnya Mas Marco menarik diri dari pergerakan. Mas Marco mundur dari komisaris SI saat pergerakan mulai mengalami keretakan oleh banyaknya faksi.
Dunia pergerakan yang selama ini dibangun atas kesadaran dan persoalan yang sama terciderai oleh perpecahan kelompok, dalam pernyataanya Marco mengungkapkan kesendirian untuk memikul beban bersama.
“Saya tidak lagi punya teman yang mau memikul bersama, perasaan yang sama, tujuan yang sama, dan sebagainya dengan saya dari dunia yang sudah ternoda ini,” kata Marco dalam sebuah tulisanya di majalah Hidoep nomor 5 pada bulan Juli hingga November 1924.
Di tengah perjalanan Marco melihat pergerakan yang kian kacau, rasa frustasi yang dialami sebagai “satria” telah mengubah sikapnya untuk pergi menyendiri di Salatiga sebagai “pandito ratu” dengan rencana menulis babad tanah Jawa.
EDI FAISOL