TEMPO.CO, Jakarta - Hari Pers Nasional baru diperingati 9 Februari 2017. Untuk mengenang tokoh jurnalistik di masa penjajahan, Tempo menurunkan profil Marco Kartodikromo, salah satu tokoh dan jurnalis di era pergerakan.
Nama lengkapnya Marco Kartodikromo, lahir dari keluarga priyayi rendahan dari Cepu, sebuah kawasan di wilayah Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sulit menemukan bukti tertulis yang menerangkan tentang hari tanggal dan bulan kelahiranya. Sejumlah peneliti sejarah seperti Takashi Shiraisi maupun Soe Hok Gie menulis bahwa Marco Kartodikromo dilahirkan sekitar tahun 1890 di Cepu.
Marco dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan yang hidupnya banyak dimanifestasikan dalam jurnalistik. Hal ini dipengaruhi situasi saat itu yang tak lepas dari suasana pegerakan. Tak jarang Marco keluar masuk bui membuat ia kurang begitu dikenal secara runut. Dalam pengantar uku Mas Marco ; Hubungan Orang Buangan di Boven Digul. Koesalah Soebagyoe Toer menjelaskan, biasanya dikatakan bahwa Marco anak seorang lurah, lahir di Cepu, Blora.
“Kemungkinan paman sekaligus sponsor Marco dalam pergerakan adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo,” kata Koesalah Soebagyoe Toer dalam pengantar buku itu.
Sekarmadji dikenal sebagai tokoh sentral DI (Darul Islam). Selain itu, karena minimnya catatan, kadang ada tulisan yang menyatakan Marco baru berusia dua puluh tiga tahun sewaktu dibuang ke Boven Digoel. Hal ini patut diragukan bila dikaitkan dengan tulisan Koesalah Soebagyoe Toer karena Boven Digoel baru dibuka pada tahun 1927.
Baca Juga:
Bila waktu itu Marco Kartodikromo berumur dua puluh tiga tahun, maka ia lahir pada tahun 1904. Padahal pada tahun 1912 berarti berumur delapan tahun Marco sudah belajar dan membantu Mas Tirto Adhisoerjo di Bandung, dan pada tahun 1913 berarti saat usia 9 tahun sudah menulis di Sarotomo.
Yang paling masuk akal adalah dari Takhashi Siaraishi yang menyatakan kelahiran Marco Kartodikromo adalah tahun 1890. Takhashi menjelaskan Marco Kartodikromo lulus dari sekolah Bumi Putra angka dua Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputra Belanda di Purworejo. Ia kemudian memasuki dinas kehutanan sebagai juru tulis rendah sekitar 1905.
Tidak lama kemudian, ia pindah ke Semarang dan menjadi juru tulis di NIS, sambil belajar bahasa Belanda dari seorang Belanda yang menjadi guru privatnya. Pada tahun 1911 merupakan dunia baru yang mengubah hidupnya, saat ia memasuki dunia jurnlistik, yaitu ketika meninggalkan Semarang menuju ke Bandung bergabung dengan surat kabar Medan Prijaji di bawah pimpinan Tirto Adisoerjo. “Dari Medan Priyayi inilah bekal awal ia mengasah diri sebagai seorang jurnalis,” kata Soebagyo I.N, dalam buku Jagad Wartawan Indoneisa,
Dalam perjalanan Marco dikenal sebagai seorang jurnalis sekaligus menjelma sebagai aktivis dan pimpinan pegerakan. Ia memiliki beberapa peran strategis dalam hal perlawanan kepada sistem, namanya sejajar dengan tokoh pergerakan pada masanya sebagai bagian kekuatan kelompok radikal di mata pemerintah kolonial seperti, Tirto Adisurjo, Haji Samanhoedi, Tjokro Aminoto, Goenawan, dan Semaoen.
“Saat ia bergabung pada Medan Prijaji di bawah pimpinan Tirto Adi Suryo, Marco sebagai magang,” kata Soebagyo.
Medan Prijaji bangkrut pada tahun 1912, membuat ia bergabung dengan Sarotomo pada akhir 1912 sebagai editor dan administrator.
Keberadaannya sebagai seorang jurnalis makin kuat ketika ia bergabung ke dunia pergerakan. Berbekal pengalaman saat di Bandung dengan bimbingan Trito Adisoerjo dan Soewardi sebagai teman dekatnya sekaligus guru.
Selanjutnya: Marco, Muda dan Berbahaya