TEMPO.CO, Semarang - Para petani terdampak pembangunan pabrik semen di Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, menggelar aksi penutupan operasional PT Semen Indonesia (Persero), Jumat, 10 Februari 2017. Petani kecewa karena PT Semen Indonesia tak menghargai putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin operasional pabrik.
“Kami hanya ingin meluruskan hukum negara, ketika izin operaisonal PT Semen Indonesia di Rembang dibatalkan Mahkamah Agung,” kata aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Joko Prianto.
Baca Juga:
Baca: Protes Tol Solo-Kertosono, Warga Gugat Bupati Madiun
Menurut Joko aksi penutupan pabrik semen yang dilakukan sekitar 300 orang itu juga sebagai bentuk kekecewaan petani yang sebelumnya melaporkan kegiatan pabrik semen ke polisi dengan tuduhan aktivitas illegal . Namun laporan yang diterima oleh kepolisian hanya bersifat aduan, bukan laporan meski pelapor membawa bukti kuat adanya aktivitas operasional pabrik semen Rembang yang tak mendapat izin hukum .
“Padahal kami membawa buktyi pelanggaran lengkap, baik dalam bentuk file video maupun gambar kondisi lapangan yang nyata-nyata tak sesuatu putusan MA,” kata Joko.
Aksi itu mendapat pengawalan aparat. Joko mengaku hingga pada pukul 13.00 WIB aksi masih damai tanpa dihalau petugas kepolisian yang berjaga .
Simak: Insiden Bentakan Chappy Hakim, Hanura Lapor ke Pimpinan DPR
Pendamping petani dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang Eti Oktaviani menyatakan petani Rembang yang terdampak pembangunan pabrik semen melaporkan aktivitas kegiatan usaha perusahaan tersebut ke polisi karena dinilai termasuk perbuatan pidana . "Tindak pidana yang diduga dilakukan oleh PT Semen Indonesia adalah melakukan usaha atau kegiatan tanpa izin lingkungan,” kata Eti.
Ia menyebutkan kegiatan PT Semen Indonesia melanggar Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). “Sebagaimana diketahui, pada 5 Oktober 2016 Mahkamah Agung telah memenangkan Peninjauan Kembali Petani Rembang lewat putusan bernomor 99 PK/TUN/2016,” kata Eti.
Lihat: Napi Pelesiran Sukamiskin, Prosedur Pengawalan Dievaluasi
Eti mengacu amar putusan Mahkamah Agung menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jateng tentang Izin Lingkungan PT Semen Gresik (Persero) Tbk yang kemudian berganti nama menjadi PT Semen Indonesia.
Dalam laporan petani itu disebutkan bahwa amar putusan MA memerintahkan Gubernur Jawa Tengah mencabut SK Izin Lingkungan pabrik. Berdasarkan Pasal 40 UU PPLH, putusan ini juga memiliki konsekuensi batalnya izin-izin turunan dari obyek sengketa, termasuk Izin Usaha, Izin Konstruksi dan Izin Operasi.
Meski dalam merespon putusan ini Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menerbitkan sejumlah SK yang tak sejalan dengan perintah MA, akhirnya pada 16 Januari 2017 Gubernur mengeluarkan SK Nomor 660.1/4 Tahun 2017.
Baca Juga: Ini Syarat Ganjar untuk Hentikan Pabrik Semen Rembang
LBH dan petani penolak PT semen menilai SK Gubernur itu tidak sepenuhnya sesuai dengan perintah putusan Mahkamah Agung, karena tidak hanya mencabut Izin Lingkungan PT Semen Indonesia di Rembang, namun sekaligus memerintahkan PT Semen Indonesia untuk memperbaik dokumen analisa dampak lingkungan (amdal).
Ia menolak meskipun SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 Tahun 2017 telah mencabut Izin Lingkungan PT Semen Indonesia, namun kegiatan usaha perusahaan pelat merah itu di lokasi pembangunan pabrik semen masih berlangsung.
“Artinya, usaha ini dilakukan tanpa memiliki Izin Lingkungan sebagai dasar hukum. Padahal, Pasal 36 ayat (1) UU PPLH menyatakan bahwa Setiap usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan,” katanya.
Simak Pula: Kalah, PT Semen Indonesia Ogah Komentari Putusan MA
Eti juga mengacu Pasal 109 UU PPLH yang menyatakan usaha dan kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar paling banyak Rp 3 miliar.
EDI FAISOL