TEMPO.CO, Balikpapan – Pemerintah Kota Balikpapan, Kalimantan Timur meratakan 48 unit barak bangunan kompleks prostitusi Kilometer 17 Karangjoang, Rabu, 8 Februari 2017. Karangjoang merupakan lokalisasi prostitusi terbesar di Kalimantan Timur yang dulunya dihuni hingga 300 pekerja seks komersial.
“Demi kebaikan bersama, akhirnya komplek prostitusi ini kami bongkar,” kata Wali Kota Balikpapan Rizal Effendy yang memimpin pembongkaran lokalisasi Karangjoang.
Pemerintah Balikpapan mengerahkan sekitar 950 aparat gabungan unsur Polri, TNI, Satpol PP, dinas perhubungan, dinas kesehatan hingga petugas pemadam kebakaran. Pemerintah daerah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 200 juta untuk biaya pengamanan ini.
Baca: Aksi 112, Aktivis NU: Waspadai Upaya Pelihara Sentimen
Rizal mengatakan telah menjalankan seluruh prosedur dalam upaya penutupan kompleks lokalisasi yang berdiri diatas tanah negara itu. Proses sosialisasi, kata dia, sudah dilakukan sejak 2013, di antaranya dengan penerbitan surat keputusan wali kota, pemberian total santunan Rp 1,2 miliar bagi 311 pekerja seks komersial hingga pengiriman surat peringatan bagi penghuni masih bertahan. “Semua prosedur sudah kami jalankan,” ucapnya.
Pemerintah Kota Balikpapan sebenarnya telah menutup tempat pelacuran tersebut sejak Juni 2013. Penutupan itu dilaksanakan atas desakan para ulama. Namun tiga tahun kemudian pelacuran di Kilometer 17 itu kembali menggeliat. “Coba anda bayangkan, kami memberikan toleransi hingga 3 tahun tidak dilakukan penertiban,” ujarnya.
Rizal mempersilakan kepada mereka yang keberatan agar memperkarakan penggusuran itu lewat jalur hukum. “Kami persilakan bila merasa keberatan untuk menempuh jalur hukum. Kami akan pelajari dan hadapi semua tuntutan mereka ini,” katanya.
Simak: Panglima TNI-Menhan Tak Sinkron, Wiranto: Saya Tertibkan
Kuasa hukum penghuni kompleks Karangjoang Sukariono mengecam aksi sepihak pembongkaran 48 unit barak bangunan ini. Menurutnya, Pemerintah Balikpapan sudah melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat kepada pemilik bangunan. “Selain melakukan perusakan barang milik orang lain, mereka sudah melakukan pelanggaran HAM berat,” katanya.
Menurut Sukariono Pemerintah Balikpapan tidak punya bukti otentik kepemilikan area prostitusi Karangjoang seluas 6 hektare. Sebaliknya, kliennya mengantongi bukti kwitansi pembelian tanah dari PT Adang Sumber Urip yang bekerja sama dengan Departemen Sosial sejak 1980. “Saya sudah cek di DPRD Balikpapan dan Pemkot Balikpapan, mereka tidak punya bukti aset kepemilikan lahan disini,” ujar dia.
Lihat: Munarman FPI Tersangka, Pengacara Ajukan Praperadilan
Sukariono mengatakan bakal mengajukan gugatan perdata, pidana hingga melaporkan Pemerintah Kota Balikpapan ke Komnas HAM karena dianggap bertindak represif terhadap penghuni lokalisasi. “Kami selalu mengkedepankan penyelesaian jalur hukum, namun Pemkot Balikpapan lebih memilih jalur kekerasan," ujarnya.
Lokalisasi Kilometer 17 sudah berdiri sejak 1980-an. Selama kurun waktu puluhan tahun tersebut, tidak ada yang mampu menertibkan lokalisasi yang menempati lahan pemerintah daerah itu. Penghuni lokalisasi sering kucing-kucingan menghindari razia petugas. Mereka menempatkan informan di mulut pintu masuk lokalisasi.
S.G. WIBISONO