TEMPO.CO, Siak - Berseragam dinas guru, Iskandar mendorong gerobak yang memuat tiga jeriken air bersih ke kamar kecil. Dibantu seorang guru lain, mereka bersama-sama menuangkan air tersebut ke dalam bak mandi.
Iskandar merupakan seorang guru di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3, Kampung Meredan, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak. Selama 7 tahun mengabdi di sekolah itu, Iskandar saban pagi harus membawa dua jeriken air dari rumahnya ke sekolah untuk kebutuhan jamban murid-muridnya. Sebab, sekolah yang dibangun pemerintah daerah Siak tujuh tahun silam itu hingga kini tidak memiliki sumur untuk keperluan jamban.
"Sekolah kami tidak memiliki sumur," kata Iskandar saat ditemui Tempo, Selasa, 7 Februari 2017.
Baca juga:
Potensi Rusak Lahan Gambut, LSM Tolak RUU Perkelapasawitan
Beruang Kelaparan Masuk Kampung, Warga Bengkulu Cemas
SMP Negeri 3 Siak terletak di kawasan berbukit, dikelilingi perkebunan kelapa sawit milik perusahaan PT Meredian, di Kampung Tengah Meredan, Kecamatan Tualang, Siak. Sekitar 100 meter dari jalan alternatif penghubung tiga daerah, yaitu Pekanbaru, Siak, dan Pelalawan.
Bukan hanya SMP, gedung sekolah berdampingan dengan Sekolah Dasar Negeri 018 Siak. Pemda menyebutnya sekolah satu atap (Satap)—dibangun pada 2010. Saat ini tercatat murid SMP berjumlah 111 orang, sedangkan murid SD 85 orang. Dua sekolah tersebut hingga kini tidak memiliki sumber air bersih.
Untuk kebutuhan jamban, majelis guru, baik dari SMP maupun SD, terpaksa harus membawa air dari rumah setiap pagi untuk dipakai bersama muridnya. Hal itu sudah terjadi sejak 7 tahun lamanya.
Bukan perkara mudah bagi para guru membawa air dari rumah ke sekolah. Terlebih, kebanyakan guru berasal dari luar daerah. Iskandar, misalnya, harus tergopoh-gopoh membawa dua jeriken air saban pagi dari rumahnya di daerah Siak Hulu, Kabupaten Kampar.
Menggunakan sepeda motor, Iskandar pergi mengajar sambil menenteng air yang disangkutkan di bangku belakang. Butuh waktu kurang lebih 1 jam menuju sekolah, menempuh jalan lintas timur yang biasa dilewati mobil bertonase besar.
"Setiap pagi, dua jeriken saya sangkutkan di jok motor," ucapnya.
Selain Iskandar, kepala sekolah pun rela membawa air dari rumah buat kebutuhan muridnya di sekolah.
Setiap pagi, Kepala SD Negeri 018 Meri Novita membawa tiga jerigen air bersih dari rumahnya yang beralamat di Jalan Hangtuah, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru.
"Setiap hari tiga galon saya muat dalam mobil," ucapnya.
Hal serupa juga dilakukan Kepala SMP Negeri 3 Tualang Surtini. Saban pagi, ia membawa lima jeriken ke sekolah dari rumahnya di Perawang, Siak. Rumah para majelis guru tersebut terbilang jauh dari sekolah yang jauh dari pemukiman masyarakat itu.
Meski demikian, para guru mengaku ikhlas menjalankan aktivitasnya untuk mengabdi di sekolah itu walaupun harus membawa air setiap hari untuk kebutuhan jamban. "Biarlah menjadi ladang amal bagi kita," ucapnya.
Surtini mengaku kesulitan air lantaran tidak memiliki sumur. Sebenarnya, kesulitan air terjadi saat musim kemarau saja. Sekolah memiliki dua drum untuk menampung air saat musim hujan tiba. "Kalau musim hujan, kami menampung air," ucapnya.
Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Siak Suprapto mengakui kedua sekolah tersebut belum memiliki sumur bor sejak dibangun.
Namun, kata dia, pihak sekolah sebenarnya sudah pernah membangun sumur bor dengan dibantu dana desa beberapa tahun lalu. Namun pembuatan sumur gagal setelah dilakukan penggalian sedalam 90 meter, tapi tidak menemukan air. Penggalian sumur yang menghabiskan dana cukup besar itu pun menjadi sia-sia.
"Yang keluar bukan air, tapi lumpur," ujarnya.
Menurut Suprapto, sumber air memang sulit ditemukan meski sudah digali 90 meter karena kawasan bangunan sekolah berada di perbukitan perkebunan sawit. Meski demikian, kata dia, Dinas Pendidikan Siak akan segera membangun sumur untuk kedua sekolah itu sampai menemukan sumber air.
"Hari ini juga akan segera kami bangun," ujarnya.
RIYAN NOFITRA