TEMPO.CO, Subang - Leuit atau lumbung tempat penyimpanan padi tradisional khas Sunda, termasuk di Subang, Jawa Barat, kini nyaris punah. Dampaknya, lumbung padi yang terbuat dari kayu, papan, dan lapisan bilik bambu berbentuk mirip rumah adat Toraja itu tak lagi dikenal generasi Ki Sunda (suku Sunda) masa kini.
Agar leuit kembali bisa dikenal generasi muda dari murid SD sampai SMA dan sederajat, komunitas HONG pimpinan Zainal Arif yang berdomisili di Desa Cibuluh, Kecamatan Tanjungsiang, Subang, kemudian berusaha mendirikan sebuah leuit berusia ratusan tahun yang didapat dan dibeli di sebuah desa terpencil di tapal batas Subang-Sumedang.
Baca juga: Purwakarta Usulkan TNI Bangun Lumbung Padi
"Kebetulan, material kayu dan papan jati, termasuk bilik bambunya, masih pada utuh," ujar Zainal saat ditemui di pedepokan Saung Budaya Kampung Balong, Desa Cibuluh, Senin, 6 Februari 2017. Ia mendapatkan leuit bekas yang sudah tak diurus pemiliknya, seorang kakek berusia 80 tahunan. Konon, leuit itu warisan dari orang tuanya saat dirinya melepas lajang pada usia 17 tahunan.
Setelah melakukan perbaikan, terutama pada bagian atap dan genting, leuit buhun (warisan orang tua dulu) itu kini sudah berdiri tegak lagi. "Dan menjadi warisan budaya yang tidak ternilai harganya," ujar Zainal.
Kini, banyak anak-anak sekolah, bahkan mahasiswa yang datang ke lokasi leuit buhun itu. Mereka datang bukan cuma berswafoto, melainkan menanyakan ihwal sejarah dan fungsi leuit.
Galih, salah seorang mahasiswa dari Kota Subang, misalnya, dia sengaja datang ke Cibolang hanya karena ingin melihat langsung gudang penyimpanan padi bernama leuit itu. "Selama ini, saya hanya mendengar cerita leuit dari kakek tanpa pernah melihatnya langsung," katanya.
Setelah melihat langsung dan berfoto selfie bersama kekasihnya, Widya, ia mengaku kagum. "Ternyata orang tua dulu sudah memiliki karya yang hebat. Leuit bisa menyimpan gabah dengan umur puluhan tahun tanpa membusuk," ujarnya. Dibandingkan dengan gudang gabah sekarang yang lebih permanen dan serba semen, daya tahan simpan tanahnya enggak tahan lama.
Keberadaan leuit, ujar Zainal, tak bisa dipisahkan dengan lahirnya kebudayaan suku Sunda di Jawa Barat, terutama yang bertalian dengan pertanian. "Karuhun (orang tua Sunda dulu) kami, merasa perlu membuat sebuah gudang penyimpanan padi pascapanen supaya kondisi gabah tetap bagus, maka dibuatlah leuit itu," tuturnya.
Leuit yang bagian bawahnya terbuat dari papan kayu, berdinding bilik bambu, dan tulang-tulang penyangganya terbuat dari kayu serta bagian atapnya berisi bambu dan berhidung genting itu ternyata memiliki daya tahan yang kuat buat penyimpanan gabah agar tetap berkualitas.
"Meski disimpan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, kualitas gabah tetap bagus, enggak kena penyakit, terutama kutu busuk," ucap Zaenal. Gabah yang disimpan di leuit biasanya dijadikan persediaan bahan beras dan cadangan pada musim paceklik.
Kecuali berfungsi sebagai gudang, menurut Zainal, leuit juga memiliki nilai filosofi yang tinggi. Misalnya, bagian atap di sebut Buana Luhur (atas), tempat penyimpanan disebut Buana Pancatengah, fondasi papan kayunya disebut Buana Larang.
"Jika diartikan, bagian atap atau atas menggambarkan tekad, tengah menggambarkan ucapan, dan bagian fondasi atau bawah menggambarkan perilaku," tutur Zaenal. Leuit juga memiliki pemahaman idealisme persandingan antara nilai budaya, estetika, dan ekonomi.
Ia bertekad agar leuit buhun masuk dalam warisan budaya tak benda (WBTB). "Kami sudah mengusulkannya ke Kemendikbud untuk diteruskan ke UNESCO," kata Zainal.
Jika Anda berkunjung sekaligus ingin menaiki anak tangga dan masuk ke perut leuit buhun, pengelolanya mewajibkan Anda mengenakan pakaian kampret dan iket khas Sunda buat pria dan perempuan diwajibkan mengenakan pakaian kebaya.
"Tiket pakai pakaian tradisional itu sebagai bentuk penghormatan kami kepada budaya karuhun dan tradisi Sunda," kata Zainal.
NANANG SUTISNA