TEMPO.CO, Malang — Pemutaran film “Istirahatlah Kata-Kata” di Kota Malang berlangsung sukses dibanding pemutaran film serupa di Mojokerto dan Surabaya. Hampir 800 tiket ludes terjual.
Film berdurasi 97 menit ini mengisahkan persembunyian penyair-aktivis Wiji Thukul di Pontianak, Kalimatan Barat, pada 1996. Film ini diputar di Bioskop Mandala 21 (Grup Cinema 21) pada Kamis-Jumat, 2-3 Februari 2017.
Menurut Melati Noer Fadjri dari Anak Singa Films, yang juga Koordinator Nonton Bareng Istirahatlah Kata-Kata, selama ini bioskop-bioskop di Indonesia cenderung hanya mau memutar film-film yang berpotensi mendatangkan banyak penonton dan tentu saja menghasilkan keuntungan besar.
Makanya, memutar film “independen” semacam IKK dianggap merugikan, apalagi kalau film tersebut dianggap sebagai “film politik”.
“Kami terpaksa harus menyewa studio untuk bisa menonton IKK dengan cara nobar dan ternyata penontonnya sangat antusias; jumlahnya membeludak, melebihi perkiraan kami,” kata Melati dalam acara sarasehan budaya bertema “Wiji Thukul, Ke Mana Sang Penyair Kerakyatan?”, yang diadakan Komunitas Kalimetro di Wisma Kalimetro, Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jumat, 3 Februari 2017.
Keberhasilan IKK meraih banyak penonton diakui Melati dan kawan-kawan cukup mengagetkan. IKK terbukti mampu bersaing dengan film komersial yang sudah bertahan lama di Mandala, yaitu Resident Evil: the Final Chapter dan Cek Toko Sebelah.
Semula, kata Melati, dia dan kawan-kawan berharap IKK diputar satu kali saja. Tapi ternyata di hari pertama 500 tiket sudah dipesan dan dibayar melalui transfer ke rekening bank. Saat pemesanan tiket ditutup, sebanyak 786 yang terjual. Sebagian besar tiket sudah dipakai menonton film yang disutradarai Yosep Anggi Noen itu.
“Kaget responnya segitu besar karena sebenarnya kami hanya berharap bisa diputar di satu studio,” ujar Melati.
Dalam acara yang sama, Gunawan Maryanto alias Cindil, pemeran utama Wiji Thukul mengatakan sejak dirilis 19 Januari lalu, IKK sudah ditonton lebih dari 48 ribu orang.
Cara promosi yang diterapkan Melati dan komunitas film lainnya di Kota Malang ditiru di Jambi. Pecinta film di Jambi akan melakukan nonton bareng pada 10 Februari. Pemutaran IKK di Pekalongan segera menyusul.
Tidak hanya sukses di Mandala 21, menurut Cindil, acara sarasehan tentang Wiji Thukul pun dipenuhi peserta yang mayoritas aktivis mahasiswa dan para pegiat komunitas film.
Kendati acara berlangsung dalam guyuran hujan, peserta menyesaki lokasi acara yang sebenarnya merupakan sekretariat Malang Corruption Watch itu. Sebanyak 150 kursi terisi dan sebagian peserta terpaksa berdiri mengelilingi lokasi acara meski sebagian peserta terkena hujan.
“Antusiasme luar biasa terutama dari generasi muda dan memang itu yang kami harapkan, yaitu untuk mengenalkan sosok Wiji Thukul dan mengungkap tragedi kemanusiaan yang hingga kini belum selesai,” kata Cindil, pemain teater yang beberapa kali bermain di film garapan Garin Nugroho.
ABDI PURMONO