TEMPO.CO, Kediri – Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri mengeluhkan banyaknya jasa penukaran uang atau money changer yang tak berizin. Keberadaan mereka dikhawatirkan menjadi alat transaksi jaringan peredaran narkoba internasional dan terorisme.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Kediri Djoko Raharto mengatakan, dari 69 Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank (KUPVA BB) di wilayahnya, hanya dua yang mengantongi izin resmi dari Bank Indonesia.
Selebihnya berjalan secara ilegal dan tanpa bisa dipantau Bank Indonesia serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). “Padahal setiap transaksi mereka harus terpantau,” kata Djoko kepada Tempo, Sabtu, 4 Februari 2017.
Baca juga:
Begini UU Pencucian Uang Buat Jerat Pelaku Kejahatan Satwa
Keberadaan penukaran uang ini tersebar di sembilan kota dan kabupaten di eks Karisidenan Kediri dan Madiun. Dari survei yang dilakukan Bank Indonesia ke tempat-tempat itu, hanya ada dua penukaran uang yang legal dan terpantau transaksi keuangannya. Keduanya berada di Kediri dan Blitar.
Ketidakjelasan transaksi yang mereka lakukan, menurut Djoko, sangat membahayakan keamanan nasional, terutama mencegah transaksi bermotif kejahatan, seperti pencucian uang, terorisme, dan jaringan peredaran narkoba internasional. Sebab, setiap nilai transaksi penukaran uang di atas Rp 100 juta akan diikuti penelusuran oleh petugas bank. Jika mencurigakan, akan dilaporkan ke PPATK dan aparat yang terkait, seperti Kepolisian dan Badan Narkotika Nasional.
Simak pula:
Penyadapan SBY, JK Kaget Pengacara Ahok Sampai Tahu Menitnya
Untuk menertibkan keberadaan penukaran uang ilegal ini, Bank Indonesia memberi tenggat waktu hingga 7 April 2017 untuk mengurus perizinan. Beberapa syarat yang harus dipenuhi pemilik usaha adalah berbentuk perseroan terbatas (PT) dan penyediaan modal awal senilai Rp 100 juta. Jika dalam tenggat tersebut pemilik usaha tak bisa memenuhi syarat, Bank Indonesia akan menutup usaha mereka.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kediri Beny Wicaksono menjelaskan, hasil survei yang dilakukan di beberapa kota minus Madiun, Magetan, Ngawi, dan Trenggalek menunjukkan usaha penukaran uang ini dimiliki secara pribadi. “Rata-rata malah ibu rumah tangga yang nyambi penukaran uang, biasanya mereka juga buka warung kelontong,” kata Beny.
Mereka dengan bebas melayani penukaran uang dalam jumlah berapa pun dan tanpa diketahui lembaga otoritas perbankan. Akibatnya, tak jarang keberadaan mereka dimanfaatkan para pelaku kejahatan untuk menukarkan uang yang diterima dari luar negeri.
Tak hanya itu, para pemilik KUPVA BB ilegal ini menetapkan nilai tukar rupiah seenaknya tanpa mengikuti ketentuan umum.
HARI TRI WASONO