TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Harjono merasa Komisi Yudisial belum perlu memiliki wewenang mengawasi MK meski ada dua hakim yang terseret kasus. Menurutnya, keberadaan dewan etik di internal sudah cukup untuk saat ini.
"Saat Pak Akil Mochtar (mantan ketua MK) tertangkap, MK kan menciptakan dewan etik. Dewan etik sudah memperingatkan Akil berkali-kali, namun tidak ada yang dipublish," ujar Harjono saat dicegat di Istana Kepresidenan, Selasa, 1 Februari 2017.
Baca:
Hakim MK Gelar Pertemuan Dengan Mantan Hakim Konstitusi
Kasus Patrialis Akbar, Perekrutan Hakim MK Mesti Dievaluasi
Sebagaimana diketahui, MK tengah menjadi sorotan lagi gara-gara salah satu hakimnya ditangkap oleh KPK. Hakim itu adalah Patrialis Akbar. Patrialis terjerat perkara suap dari pengusaha daging untuk menggolkan uji materi UU Peternakan.
Sejak perkara itu terjadi, berbagai pihak meminta perbaikan di tubuh MK. Misalnya, meminta MK untuk membuat sistem perekrutan hakim yang lebih terbuka. Selain itu, ada juga permintaan agar Dewan Etik MK diperkuat atau menambah wewenang KY agar bisa ikut mengawasi MK.
Sesungguhnya, permintaan-permintaan tersebut bukan hal baru. Hal itu sudah pernah disampaikan saat Akil Mochtar ditangkap KPK. Namun, hal itu tidak disetujui karena MK dianggap sebagai lembaga yang bermartabat sehingga tidak perlu diawasi secara terbuka atau eksternal.
Harjono mengakui bahwa anggapan itu masih bertahan. Menurutnya, jika Dewan Etik diperkuat sehingga semua peringatan atas hakim MK dibuka ke publik, Martabat MK bisa dipertanyakan dan turun. Oleh karenanya, menurutnya, lebih baik MK tetap bertahan dengan Dewan Etik tertutup dan tanpa pengawasan KY.
"Memang ini situasi dilematis. Menurut saya sudah cukup dengan Dewan Etik sekarang. Kalau eksternal tapi fungsinya seperti Dewan Etik sekarang yang sama saja, dia tidak boleh mempublish kerena itu masalah etika," ujarnya.
ISTMAN MP