TEMPO.CO, Jayapura - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura menilai implementasi kemerdekaan pers bagi para jurnalis yang bertugas di Provinsi Papua maupun Papua Barat masih minim sepanjang 2016.
"Dari data yang diterima Divisi Advokasi AJI Jayapura, terdapat 10 kasus yang menghambat kemerdekaan jurnalis dalam upaya menyampaikan informasi yang terpercaya dan berimbang bagi masyarakat Papua dan Papua Barat," kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Kota Jayapura Fabio Maria Lopes Costa, di Jayapura, Senin, 30 Januari 2017.
Baca: Diduga Pakai Sabu, Polisi Bekuk Bekas Bupati Teluk Wondama
Menurut Fabio kasus-kasus tersebut meliputi intervensi kepada wartawan saat melaksanakan tugasnya, termasuk penghapusan foto dan video terkait liputan isu-isu sensitif, seperti Gerakan Papua Merdeka. Selain itu juga perusakan sarana peliputan, pemukulan terkait peliputan kasus dalam persidangan, pelaporan ke pihak berwajib atas materi peliputan, pemukulan, dan pengusiran wartawan yang hendak mengkonfirmasi isu tertentu kepada narasumber.
"Tercatat 10 wartawan yang mendapatkan tindakan tersebut. Kasus-kasus ini terjadi di Kabupaten Timika, Jayawijaya, Wamena, Kota Jayapura, Kabupaten Nabire, Dogiyai, Manokwari, dan Sorong," ujarnya.
Menurutnya, kasus pelanggaran kemerdekaan pers terbanyak berada di Kota Jayapura, yakni tiga kasus, sedangkan di Wamena sebanyak dua kasus. Adapun pelanggaran kemerdekaan pers di lima daerah lainnya tercatat hanya satu kasus.
Simak: Satu Jenasah Korban Kapal TKI Tenggelam Dipulangkan ke Ende
Berdasarkan laporan 10 jurnalis tersebut, ujar Fabio, tujuh kasus pelanggaran kemerdekaan pers terkait dengan aparat keamanan, dua kasus dengan pihak keamanan, dan satu kasus dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kesimpulannya, kata Fabio, pelanggaran kemerdekaan pers di Papua dilakukan oleh eksekutif, yudikatif, dan legislatif. "Seolah-olah peranaan awak pers dianggap masih rendah, perlu 'didiamkan' dan diawasi secara ketat oleh oknum-oknum tertentu. Padahal, pers secara tidak langsung adalah pilar keempat demokrasi," ujarnya dia.
Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999, kata Fabio, hadir untuk menjamin kemerdekaan pers bagi para jurnalis dan media massa. Namun amanah mulia dari regulasi itu belum terealisasi secara menyeluruh ke seluruh wilayah khususnya di Papua.
Lihat: Setara: Polri, MUI, dan FPI Pelanggar Kebebasan Beragama
Fabio berujar ada baiknya Dewan Pers secara aktif memberikan pemahaman tentang materi kemerdekaan pers yang komprehensif bagi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, khususnya di Papua. "Jelang pelaksanaan Pilkada Papua dan Papua Barat, kami berharap para wartawan mengutamakan keberimbangan dalam penyampaian informasi," ucapnya.
Fabio meminta jurnalis di daerah Papua untuk menghindari pemberitaan yang bersifat provokasi dan cenderung menjatuhkan kandidat tertentu. Sebab pemberitaan dengan cara tersebut dapat menjadi salah satu pemicu konflik dalam pilkada. "Masyarakat dirugikan oleh awak media yang cenderung hanya mementingkan berita yang bersifat bombastis," ujarnya.
ANTARA