TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi memastikan penangkapan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar, merupakan hasil operasi tangkap tangan. Sebab, proses penangkapan Patrialis sudah sesuai dengan Pasal 1 ayat 19 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Baca juga: Bertulisan Tangan, Patrialis Ajukan Surat Pengunduran Diri
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, menjelaskan, ada empat kondisi penangkapan yang bisa dikatakan sebagai operasi tangkap tangan, di antaranya penangkapan dilakukan saat peristiwa terjadi dan penangkapan dilakukan beberapa saat setelah peristiwa pidana terjadi. "Dalam konteks ini, OTT dilakukan KPK beberapa saat setelah peristiwa terjadi karena indikasi terjadi di lapangan golf Rawamangun," kata Febri di kantornya, Senin, 30 Januari 2017.
Febri menjelaskan, tim penyidik KPK sudah mengetahui akan adanya pertemuan antara Patrialis Akbar dan Kamaludin, seseorang yang diduga sebagai perantara, di lapangan golf Rawamangun. Ketika dicek, ternyata benar terjadi pertemuan dan penyidik menemukan barang bukti berupa salinan draf putusan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014.
Ketika diperiksa, ternyata salinan putusan itu sama persis dengan draf asli yang berada di Mahkamah Konstitusi yang belum dibacakan. Selanjutnya tim penyidik bergerak ke Sunter untuk menangkap Basuki Hariman, yang diduga sebagai pemberi suap.
Belakangan, timbul pertanyaan apakah yang dilakukan KPK adalah operasi tangkap tangan? Sebab, tak ada uang yang turut diamankan.
Febri menerangkan, suap tidak hanya terjadi ketika uang sudah diserahkan. Janji yang sudah disepakati maupun belum terealisasikan juga bisa dikatakan delik suap sempurna karena adanya persetujuan kedua belah pihak.
Patrialis dicokok di Grand Indonesia setelah KPK menciduk Kamaludin dan Basuki. Ia diduga menerima suap Sin$ 200 ribu dan US$ 20 ribu untuk memenangkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
MAYA AYU PUSPITASARI