TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Masyarakat Indonesia Anti-Hoax (MIAH) Septiaji Eko mengajak masyarakat menggunakan media sosial (medsos) untuk hal-hal positif yang bersifat sinergis dan edukatif, bukan sebaliknya untuk memecah belah melalui penyebaran berita bohong (hoax).
"Hoax sudah menyebar dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Bahkan banyak keluarga tak harmonis, perkawanan putus, dan terjadi kerusuhan di berbagai daerah akibat termakan berita hoax," kata Septiaji di Jakarta, Rabu, 25 Januari 2017.
Ia mengatakan pemerintah harus berani menekan penyedia media sosial, seperti Facebook, Google, Twitter, dan Instagram, untuk serius menangani konten yang menyesatkan. "Seperti di Jerman, sudah ada rancangan undang-undang untuk mendenda berita hoax di media sosial dengan ancaman denda Rp 7 miliar," katanya.
Baca juga:
Termakan Hoax Istri Selingkuh, Pria Ini Bakar Rumah Tetangga
Ussy Sulistiawaty Sayangkan Kicauan Uus Soal Rizieq
Menurut dia, hoax menyebar karena banyaknya akun anonim. Mengingat sebagian besar akses Internet melalui telepon pintar, menurut Septiaji, pemerintah dalam hal ini Kominfo minimal bisa meminta dan memberikan ketegasan kepada operator agar tidak menjual kartu perdana, tanpa identitas pengguna yang jelas.
"Saat ini sudah ada mekanismenya, tapi kenyataannya masih ada yang bisa mendapatkan kartu perdana tanpa memberikan identitas. Ini masalah awal yang harus ditangani pemerintah," tutur Septiaji.
MIAH sendiri berupaya menyadarkan masyarakat agar menggunakan media sosial secara bijak dan positif serta mengajak masyarakat untuk memahami bahaya penyebaran hoax dari sisi hukum, agama, kesusilaan, dan kesopanan.
"Gerakan kami lebih banyak literasi, membaca, dan menulis di medsos supaya masyarakat tidak main share, bisa memilah mana berita benar dan mana yang tidak. Kalau bisa masyarakat bisa mengambil informasi dari berita itu untuk membuat tulisan lagi yang menginspirasi," tuturnya.
Baca juga:
Resep Pindang Bandeng, Simbol Rezeki dalam Perayaan Imlek
Grasi Antasari Azhar, Istana: Jokowi Kurangi Hukuman 6 Tahun
Ia berharap MIAH bisa bersinergi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama untuk memasukkan konten yang mengajarkan cara bermedia sosial secara positif dan menghindari hoax melalui kurikulum pendidikan.
"Kedua kementerian itu kami rangkul karena memiliki jaringan ke sekolah dan madrasah, dan mungkin jaringan ke pendakwah besar. Kami juga mencoba kolaborasi dengan komunitas NU, Muhammadiyah, dan komunitas hobi untuk sama-sama menyuarakan isu ini," kata Septiaji.
ANTARA