TEMPO.CO, Pangkalpinang - Potret pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang digelar 15 Februari 2017 mendatang, diwarnai berbagai aksi kecurangan. Salah satunya yang menjadi sorotan publik adalah fenomena politik uang (money politics) yang semakin masif dengan modus operandi yang beragam.
Pengamat Politik Lintas Studi Demokrasi Lokal (LIDAL) Anugra Bangsawan mengatakan fakta di lapangan mengidentifikasi adanya praktek dagang atau jual beli suara dengan modus baru untuk mengelabui petugas pengawas dan menghindari sanksi. Salah satunya dengan melibatkan pedagang atau pemilik toko untuk membagikan sembako kepada masyarakat yang telah mendapatkan kupon dari tum sukses pasangan calon.
Baca juga:
Baru Saja Jokowi Bertemu Try Sutrisno di Istana
Suap E-KTP, KPK Kembali Periksa Gamawan Fauzi
“Modus itu sebenarnya masuk dalam kategori money politics dan merupakan bentuk pelanggaran karena masyarakat yang menerima kupon diminta imbalan dengan memilih calon tersebut. Hanya saja modus dikamuflase lebih cantik untuk menghindari sanksi,” ujar Anugra kepada Tempo, Kamis, 19 Januari 2017.
Anugra mengatakan realitas politik dagang atau jual beli suara juga terjadi dan tercermin dari pengerahan saksi bayangan yang dikemas melalui mobilisasi tim relawan di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 10-25 orang dengan imbalan rupiah berkisar antara Rp 100 ribu-Rp 250 ribu per orang. Teknik pembayaran uang saksi dilakukan dua tahap, yakni pertama diberikan Rp 50 ribu sebagai uang muka dan sisanya dibayar setelah penghitungan suara selesai dilakukan oleh pihak penyelenggara KPU.
Silakan baca:
Begini Cara Kemenpan Cegah Jual-Beli Jabatan di Daerah
“Itu dilakukan untuk efisensi dana dan juga memastikan dukungan suara saksi bayangan tersebut. Apabila suara yang ditargetkan tidak sesuai yang telah disepakati, maka jangan harap sisa pembayaran akan diperoleh saksi terlepas paslon tersebut menang atau kalah,” ujar dia.
Menurut Anugra potensi suara siluman (ghost voters) dengan memanfaatkan celah akurasi data Daftar Pemilih Tetap (DPT) juga perlu dipertanyakan. Selain pemilih ganda, pemilih dibawah umur bahkan telah meninggal dunia, modus manipulasi suara jelas akan melibatkan petugas penyelenggara KPPS setempat.
“Bahkan lebih dari itu, petugas saksi paslon di lapangan sering terkecoh verifikasi pembacaan suara sah atau tidak sah yang dilakukan oleh pihak komisioner partisan di tiap TPS. Pertanyaannya adalah mengapa praktik kecurangan jual beli suara kerap terjadi disetiap perhelatan demokrasi? Apa mungkin kandidat dan elite parpol diranah lokal susah diingatkan. Atau sebaliknya masyarakat terkesan tidak perduli. Padahal, jeratan sanksi tegas sudah tercantum dalam Undang-Undang,” ujar dia.
Anugra menambahkan praktek kecurangan yang dilakukan dapat merusak kualitas pilkada dan mencederai demokrasi. Pilkada yang cacat berpotensi besar menghasilkan pemimpin yang sangat diragukan integritas dan komitmennya untuk menjadi panutan rakyat yang baik. Terutama, mereka yang terpilih karena “membeli suara” dan mereka yang terbiasa dengan cara-cara kotor untuk meraih kekuasaan.
“Ibarat kita menunjuk dengan satu telunjuk jari, keempat jari lainnya mengarah ke kita sendiri. Jika pemimpin terpilih nantinya korup, menggadaikan kepentingan rakyat terhadap pemodal/cukong yang memberi pinjaman uang demi kepentingan sukses kandidat pada masa pilkada. Hal tersebut merefleksikan masyarakat pemilih yang lebih mementingkan pemberian uang/barang, daripada interigitas kandidat serta program visi misi berbasis kepentingan masyarakat luas. Untuk itu, jadilah pemilih cerdas dalam menentukan pemimpin berkualitas,” ujar dia.
SERVIO MARANDA
Simak:Dugaan Suap Bakamla, DPR Sesalkan KPK Tak Koordinasi TNI